MEMAHAMI MAKNA AQIQAH DALAM ISLAM
Hadits Shahih tentang Aqiqah dan Penjelasannya dalam Bahasa Arab Hadits Shahih tentang Aqiqah dan Penjelasannya dalam Bahasa Arab menjadi penting untuk dirujuk bagi muslimin dan muslimat. Hal tersebut dikarenakan Al Qur’an dan Hadits dituliskan dan dilafazkan secara asli dan otentik dalam bahasa Arab. Mengenai hal ini Alloh juga berfirman secara khusus dalam Al Qur’an bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Yuk kita simak Hadits Shahih tentang Aqiqah. Hadits Shahih tentang Aqiqah Hadits tentang Sejarah Aqiqah كُنَّا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا وُلِدَ ِلاَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَ لَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِاْلاِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَ نَحْلِقُ رَأْسَهُ وَ نَلْطَخُهُ بزَعْفَرَانٍ. ابو داود Buraidah berkata : Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107, no. 2843] عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانُوْا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا عَقُّوْا عَنِ الصَّبِيّ خَضَبُوْا قُطْنَةً بِدَمِ اْلعَقِيْقَةِ. فَاِذَا حَلَقُوْا رَأْسَ الصَّبِيّ وَضَعُوْهَا عَلَى رَأْسِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اِجْعَلُوْا مَكَانَ الدَّمِ خَلُوْقًا. ابن حبان Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi“. [HR. Ibnu Hibban juz 12, hal. 124, no. 5308] Anda dapat membaca sejarah aqiqah lebih lengkap pada artikel yang telah kami tulis sebelumnya. Kami telah jelaskan sejarah awal mula aqiqah sejak zaman jahiliyah (pra Islam) dan ketika pada zaman Nabi Muhammad. Hadits Shahih tentang Aqiqah yang Menjadi Dalil Pelaksanaan Aqiqah Aqiqah dianjurkan untuk dilaksanakan pada hari ke-7 (tujuh) dengan ketentuan jumlah kambing untuk bayi laki-laki adalah 2 ekor dan untuk bayi perempuan 1 ekor. Selain itu si bayi juga perlu diberi nama dan dicukur rambutnya pada saat aqiqah dilaksanakan. Berikut adalah beberapa hadits yang menjadi dasar pelaksanaan aqiqah: عَنْ يُوْسُفَ بْنِ مَاهَكٍ اَنَّهُمْ دَخَلُوْا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمنِ فَسَأَلُوْهَا عَنِ اْلعَقِيْقَةِ، فَاَخْبَرَتْهُمْ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. الترمذي Dari Yusuf bin Mahak bahwasanya orang-orang datang kepada Hafshah binti ‘Abdur Rahman, mereka menanyakan kepadanya tentang ‘aqiqah. Maka Hafshah memberitahukan kepada mereka bahwasanya ‘Aisyah memberitahu kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih ‘aqiqah) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35, no. 1549]. عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى. البخارى 6: 217 Dari Salman bin ‘Amir Adl-Dlabiy, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang ‘aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya)“. [HR. Bukhari juz 6, hal. 217] عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. احمد 2: 604، رقم: 2725 Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berkehendak untuk meng’aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan satu ekor kambing“. [HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725] عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَ سَمَّاهُمَا وَ اَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى. الحاكم فى المستدرك 4: 264، رقم: 7588 Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)“. [HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588] Keterangan : Hasan dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW. عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى. ابو داود 3: 106، رقم: 2838 Dari Samurah bin Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak tergadai (tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama“. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106, no. 2838] عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَ يُحْلَقُ رَأْسُهُ وَ يُسَمَّى. ابن ماجه 2: 1056، رقم: 3165 Dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165] كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّيكُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تَذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” [HR Abu awud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165 dll dari sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, Syaikh al-Albani dan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab al-Insyirah Fi Adabin Nikah hlm. 97] Itulah beberapa Hadits Shahih tentang Aqiqah yang menjadi dasar pelaksanaan aqiqah. Kemudian kami menemukan artikel menarik tentang penjelasan makna kata tergadai dalam hadits. Berikut adalah penjelasannya. Penjelasan mengenai kata tergadai dalam Hadits Apakah makna kata tergadai tersebut adalah sang anak tidak dapat memberikan syafaat untuk kedua orang tuanya? Berikut adalah penjelasannya seperti dikutip dari almanhaj.or.id: Al-Khaththabi rahimahullah berkata : “(Imam) Ahmad berkata, Ini mengenai syafaat. Beliau menghendaki bahwa jika si anak tidak diaqiqahi, lalu anak itu meninggal waktu kecil, dia tidak bisa memberikan syafa’at bagi kedua orang tuanya” [Ma’alimus Sunan 4/264-265, Syarhus Sunnah 11/268] Sepengetahuan almanhaj.or.id tidak ada hadits yang menafsirkannya dengan ‘tidak mendapatkan syafa’at’, oleh karena itu para ulama berbeda pendapat tentang maknanya. Tampaknya, itu bukan ijtihad Imam Ahmad rahimahullah, akan tetapi beliau mengambil dari penjelasan Ulama sebelumnya. Karena makna ini juga merupakan penjelasan Imam Atha al-Khurasani, seorang Ulama besar dari generasi Tabi’in. Imam al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Hamzah yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Atha al-Khurasani, apakah makna ‘tergadai dengan aqiqahnya“, beliau menjawab, “Terhalangi syafa’at anaknya”. [Sunan al-Kubro 9/299] Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa makna tersebut tidak tepat. Beliau berkata, “Makna tertahan/tergadai (dalam hadits aqiqah) ini masih diperselisihkan. Sejumlah orang mengatakan, maknanya tertahan/tergadai dari syafa’at untuk kedua orag tuanya. Hal itu dikatakan oleh Atha dan diikuti oleh Imam Ahmad. Pendapat tersebut perlu dikoreksi, karena syafa’at anak untuk bapak tidak lebih utama dari sebaliknya. Sedangkan keadaannya sebagai bapak tidaklah berhak memberikan syafa’at untuk anak, demikian juga semua kerabat. Berdasarkan beberapa riwayat hadits shahih di atas, maka menjadi jelas bahwa aqiqah itu hukumnya Sunnah. Sunnah memiliki makna kalau dilaksanakan mendapatkan pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa. Mengenai hadits yang menyebutkan bahwa pelaksanaan aqiqah itu pada hari ke-14 (empat belas) atau hari ke-21 (duapuluh satu), haditsnya sebagai berikut : قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـعَـقِـيْقَتةُ تُـذْبَحُ لِسَـبْعٍ وَلِأَرْبَعَ عَشَرَةَ وَلِإِحْدَى وَعِشْرِيْنَ Kata Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda, “Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas , atau keduapuluh satunya. (HR. Baihaqi dan Thabrani) Menurut para ahli peneliti hadits, dalam riwayat Baihaqi dan Thabrani ini ada seorang perawi bernama Ismail bin Muslim yang dinilai lemah oleh imam Ahmad, Abu Zar’ah, dan Nasa’i. Sehingga hadits ini termasuk Dha’if dan tidak dapat menjadi hujjah yang kuat. Kami juga telah menyebutkan hal ini dalam tulisan kami tentang pengertian aqiqah. Semoga penjelasan ringkas mengenai Hadits Shahih tentang Aqiqah dapat bermanfaat buat anda. Terakhir diperbarui pada Jan 16, 2018 @ 9:38 pm Hadits Shahih tentang Aqiqah dan Penjelasannya dalam Bahasa Arab Maksud Anak Tergadai Dalam Hadits Aqiqah ? Hadis Tentang Aqiqah Hadist Aqiqoh Hadits Aqiqah Shahih Dalil Aqiqah Dalam Al Quran Firman Allah Tentang Aqiqah MAKSUD ANAK TERGADAI DALAM HADITS AQIQAH ? Pertanyaan Ada yang mengatakan bahwa Imam Ahmad memaknai hadits “setiap anak tergadai dengan aqiqah”, tidak dapat memberikan syafa’at. Apakah benar nukilan ini dari beliau? Kalau benar, apakah pengertiannya? Apakah ada hadits yang menafsirkan dengan pengertian itu atau itu hanya ijtihad dari Imam Ahmad semata? Jawaban Hadits yang dimaksud adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّيكُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تَذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” [HR Abu awud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165 dll dari sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, Syaikh al-Albani dan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab al-Insyirah Fi Adabin Nikah hlm. 97] Pertanyaan-pertanyaan saudara akan kami jawab sebagai brikut : a). Memang benar ada nukilan tersebut. Al-Khaththabi rahimahullah berkata : “(Imam) Ahmad berkata, Ini mengenai syafaat. Beliau menghendaki bahwa jika si anak tidak diaqiqahi, lalu anak itu meninggal waktu kecil, dia tidak bisa memberikan syafa’at bagi kedua orang tuanya” [Ma’alimus Sunan 4/264-265, Syarhus Sunnah 11/268] b). Sepengetahuan kami tidak ada hadits yang menafsirkannya dengan ‘tidak mendapatkan syafa’at’, oleh karena itu para ulama berbeda pendapat tentang maknanya. c). Tampaknya, itu bukan ijtihad Imam Ahmad rahimahullah, akan tetapi beliau mengambil dari penjelasan Ulama sebelumnya. Karena makna ini juga merupakan penjelasan Imam Atha al-Khurasani, seorang Ulama besar dari generasi Tabi’in. Imam al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Hamzah yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Atha al-Khurasani, apakah makna ‘tergadai dengan aqiqahnya’, beliau menjawab, ‘Terhalangi syafa’at anaknya’. [Sunan al-Kubro 9/299] d). Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa makna tersebut tidak tepat. Beliau berkata, “Makna tertahan/tergadai (dalam hadits aqiqah) ini masih diperselisihkan. Sejumlah orang mengatakan, maknanya tertahan/tergadai dari syafa’at untuk kedua orag tuanya. Hal itu dikatakan oleh Atha dan diikuti oleh Imam Ahmad. Pendapat tersebut perlu dikoreksi, karena syafa’at anak untuk bapak tidak lebih utama dari sebaliknya. Sedangkan keadaannya sebagai bapak tidaklah berhak memberikan syafa’at untuk anak, demikian juga semua kerabat. Allah Azza wa Jalla berfirman. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. [Luqman/31 : 33] Allah Azza wa Jalla juga berfirman. وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at. [al-Baqarah/2 : 48] Allah Azza wa Jalla berfirman. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. [al-Baqarah/2 : 254] Maka pada hari Kiamat, siapa saja tidak bisa memberikan syafa’at kepada seorangpun kecuali setelah Allah Azza wa Jalla memberikan izin bagi orang yang dikehendaki dan diridhai oleh-Nya. Dan izin Allah Azza wa Jalla itu tergantung kepada amalan orang yang dimintakan syafa’at, yaitu amalan tauhidnya dan keikhlasannya. Juga (tergantung) kepada kedekatan dan kedudukan pemohon syafa’at di sisi Allah Azza wa Jalla. Syafa’at tidak diperoleh dengan sebab kekerabatan, keadaan sebagai anak dan bapak. Penghulu seluruh pemohon syafa’at dan orang yang paling terkemuka di hadapan Allah Azza wa Jalla (yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah berkata kepada paman, bibi, dan putrinya : لاَأُغْنِي عَنْكُم مِنْ اللَّهِ شَيْئًا Aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap kamu sedikit pun Di dalam riwayat lain. لاَأمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا Aku tidak menguasai kebaikan sedikitpun dari Allah untuk kamu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata dalam syafa’at yang paling besar ketika beliau bersujud di hadapan Rabbnya dan memohonkan syafa’at : ‘Kemudian Allah menetapkan batas untukku, lalu aku memasukkan mereka ke dalam surga’. Atas dasar itu, syafa’at beliau hanya dalam batas orang-orang yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan syafa’at beliau tidak untuk selain mereka yang telah ditentukan. Maka bagaimana dikatakan bahwa anak akan memohonkan syafa’at untuk bapaknya, namun jika bapaknya tidak melakukan aqiqahnya, maka anak itu ditahan dari memohonkan syafa’at untuk bapaknya? Demikian juga orang yang memohonkan syafa’at untuk orang lain tidak disebut ‘tergadai’, lafazh itu itu tidak menunjukkan demikian. Sedangkan Allah Azza wa Jalla telah memberitakan bahwa seorang hamba itu tergadai dengan usahanya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla. كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. [al-Muddatsir/74 : 38] Allah Azza wa Jalla berfirman. أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka disebabkan perbuatan mereka sendiri. [al-An’am/6 : 70] Maka orang yang tergadai adalah orang yang tertahan, kemungkinan disebabkan oleh perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain. Adapun orang yang tidak memohonkan syafa’at untuk orang lain tidak disebut ‘tergadai’ sama sekali. Bahkan orang yang tergadai adalah orang yang tertahan dari urusan yang akan dia raih, namun hal itu tidak harus terjadi dengan sebab darinya, bahkan hal itu terjadi terkadang disebabkan oleh perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain. Dan Allah Azza wa Jalla telah menjadikan aqiqah terhadap anak sebagai sebab pembebasan gadainya dari setan yang telah berusaha mengganggunya semenjak kelahirannya ke dunia dengan mencubit pinggangnya. Maka aqiqah menjadi tebusan dan pembebas si anak dari tahanan setan terhadapnya, dari pemenjaraan setan di dalam tawanannya, dari halangan setan terhadapnya untuk meraih kebaikan-kebaikan akhiratnya yang merupakan tempat kembalinya. Maka seolah-olah si anak ditahan karena setan menyembelihnya (memenjarakannya) dengan pisau (senjata) yang telah disiapkan setan untuk para pengikutnya dan para walinya. Setan telah bersumpah kepada Rabbnya bahwa dia akan menghancurkan keturunan Adam kecuali sedikit di antara mereka. Maka setan selalu berada di tempat pengintaian terhadap si anak yang dilahirkan itu semenjak keluar di dunia. Sewaktu si anak lahir, musuhnya (setan) bersegera mendatanginya dan menggabungkannya kepadanya, berusaha menjadikannya dalam genggamannya dan pemahamannya serta dijadikan rombongan pengikut dan tentaranya. Setan sangat bersemangat melakukan ini. Dan mayoritas anak-anak yang dilahirkan termasuk dari bagian dan tentara setan. Sehingga si anak berada dalam gadai ini. Maka Allah Azza wa Jalla mensyariatkan bagi kedua orang tuanya untuk melepaskan gadainya dengan sembelihan yang menjadi tebusannya. Jika orang tua belum menyembelih untuknya, si anak masih tergadai dengannya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. اَلْغُلاَمُ مُرْنَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ، فَأَرِيْقُوْا عَنْهُ الدَّمَ وَأَمِيطُواعَنْهُ الأَذَى Seorang bayi tergadai dengan aqiqahnya, maka alirkan darah (sembelihan aqiqah) untuknya dan singkirkan kotoran (cukurlah rambutnya) darinya. [1] Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengalirkan darah (menyembelih aqiqah) untuknya (si anak) yang membebaskannya dari gadai, jika gadai itu berkaitan dengan kedua orang tua, niscaya beliau bersabda :’Maka alirkan darah untuk kamu agar syafa’at anak-anak kamu sampai kepada kamu’. Ketika kita diperintahkan dengan menghilangkan kotoran yang nampak darinya (si anak dengan mencukur rambutnya) dan dengan mengalirkan darah yang meghilangkan kotoran batin dengan tergadainya si anak, maka diketahui bahwa itu untuk membebaskan anak dari kotoran batin dan lahir. Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui maksud-Nya dan makud Rasul-Nya’. (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 48-49, karya Ibnul Qayyim, Tahqiq : Basyir Muhammad Uyun, Penerbit Darul Bayaan dan Maktabah al-Muayyad cet. 4, Th 14141H/1994M) Hadits Tentang Aqiqah Adapun menurut istilah agama, yang dimaksud ‘aqiqah ialah : Sembelihan yang disembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik laki-laki ataupun perempuan pada hari yang ke tujuh sejak kelahirannya dengan tujuan semata-mata mencari ridla Allah. كُنَّا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا وُلِدَ ِلاَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَ لَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِاْلاِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَ نَحْلِقُ رَأْسَهُ وَ نَلْطَخُهُ بزَعْفَرَانٍ. ابو داود 3: 107، رقم: 2843 Demikianlah sejarah syariat ‘aqiqah dalam Islam, dan dari riwayat-riwayat diatas serta riwayat-riwayat lain, tampak jelas bagaimana sikap agama tercinta ini dalam menghadapi adat yang sudah biasa berjalan dan berlaku pada masyarakat dan masih mungkin diluruskan. Tegasnya, Islam sesuai dengan fungsi diturunkannya yaitu sebagai lambang kasih sayang serta memimpin ke arah jalan yang serba positif, maka dalam menghadapi adatistiadat yang sudah biasa dilaksanakan sekelompok manusia, menempuh tiga macam cara yaitu : A. Yang berhubungan dengan sang anak Dalil-dalil Pelaksanaan Aqiqah عَنْ يُوْسُفَ بْنِ مَاهَكٍ اَنَّهُمْ دَخَلُوْا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمنِ فَسَأَلُوْهَا عَنِ اْلعَقِيْقَةِ، فَاَخْبَرَتْهُمْ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. الترمذي 3: 35، رقم: 1549 Dari Yusuf bin Mahak bahwasanya orang-orang datang kepada Hafshah binti 'Abdur Rahman, mereka menanyakan kepadanya tentang 'aqiqah. Maka Hafshah memberitahukan kepada mereka bahwasanya 'Aisyah memberitahu kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih 'aqiqah) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35, no. 1549]. عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى. البخارى 6: 217 Dari Salman bin ‘Amir Adl-Dlabiy, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang ‘aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya)". [HR. Bukhari juz 6, hal. 217] عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. احمد 2: 604، رقم: 2725 Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa berkehendak untuk meng'aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan satu ekor kambing". [HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725] عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَ سَمَّاهُمَا وَ اَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى. الحاكم فى المستدرك 4: 264، رقم: 7588 Dari 'Aisyah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)". [HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588] Keterangan : Hasan dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW. عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى. ابو داود 3: 106، رقم: 2838 Dari Samurah bin Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Tiaptiap anak tergadai (tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama". [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106, no. 2838] عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَ يُحْلَقُ رَأْسُهُ وَ يُسَمَّى. ابن ماجه 2: 1056، رقم: 3165 Dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165] B. Yang berhubungan dengan binatang sembelihan 1. Dalam masalah ‘aqiqah, binatang yang boleh dipergunakan sebagai sembelihan hanyalah kambing, tanpa memandang apakah jantan atau betina, sebagaimana riwayat di bawah ini : عَنْ اُمّ كُرْزٍ اَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنِ اْلعَقِيْقَةِ فَقَالَ: نَعَمْ. عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ وَاحِدَةٌ، لاَ يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ اَمْ اِنَاثًا. الترمذى وصححه، 3: 35، رقم: 1550 Dari Ummu Kurz (Al-Ka'biyah), bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ‘aqiqah. Maka jawab beliau SAW, "Ya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina". [HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya, juz 3, hal. 35, no. 1550] Keterangan : Dan kami belum mendapatkan dalil yang lain yang menunjukkan adanya binatang selain kambing yang dipergunakan sebagai ‘aqiqah. 2. Waktu yang dituntunkan oleh Nabi SAW berdasarkan dalil yang shahih ialah pada hari ke-7 semenjak kelahiran anak tersebut. [Lihat dalil riwayat 'Aisyah dan Samurah di atas] Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Aqiqah : Dalam masalah ‘aqiqah ini banyak orang yang melakukannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Nabi SAW. Tetapi bila mereka ditanya dalilnya atau tuntunannya, mereka sendiri tidak dapat mengemukakannya dengan jelas. Maka kami suguhkan kepada saudara-saudara kaum Muslimin, dalil-dalil yang biasa dipergunakan sebagai dasar amalan-amalan yang berhubungan dengan masalah ‘aqiqah, sedang dalil tersebut adalah lemah dan tidak dapat dipergunakan sebagai hujjah/alasan dalam masalah hukum. Diantaranya : 1. Adzan dan Iqamah pada telinga bayi yang baru lahir. عَنْ اَبِى رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص اَذَّنَ فِى اُذُنَيِ اْلحَسَنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ. احمد 9: 230، رقم 23930 Dari Abu Rafi' ia berkata, "Saya pernah melihat Rasulullah SAW membaca adzan (sebagaimana adzan) shalat, pada kedua telinga Hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah". [HR. Ahmad juz 9, hal. 230, no. 23930, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin ‘Ubaidillah] Keterangan : Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Hakim dan Baihaqi dan juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan lafadh yang agak berbeda. Dan hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ath-Thabrani sebagai berikut : عَنْ اَبِى رَافِعٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَذَّنَ فِى اُذُنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ وُلِدَا وَ اَمَرَ بِهِ. الطبرانى فى المعجم الكبير 1: 313، رقم: 926 Dari Abu Rafi’ bahwasanya Nabi SAW membaca adzan pada telinga Hasan dan Husain RA ketika keduanya dilahirkan. Dan beliau menyuruh yang demikian itu. [HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir juz 1, hal. 313 no. 926] Hadits-hadits tersebut kesemuanya diriwayatkan melalui jalan 'Ashim bin 'Ubaidillah. Tentang ‘Aashim bin ‘Ubaidillah ini, Bukhari berkata : Ia mungkarul hadits. Abu Zur’ah berkata : Ia mungkarul hadits. Abu Hatim berkata : Ia mungkarul hadits. Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Nasa’iy berkata : Ia dla’if. (Lihat Mizaanul I’tidal juz 2 hal. 353 no. 4056; Tahdziibut Tahdziib juz 5, hal. 42, no. 79). Ada lagi hadits yang diriwayatkan Ibnus Sunni demikian : عَنْ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَاَذَّنَ فِى اُذُنِهِ اْليُمْنَى وَ اَقَامَ فِى اُذُنِهِ اْليُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ اُمُّ الصّبْيَانِ. ابن السنى: 220، رقم: 623 Dari Husain bin Ali RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mempunyai anak yang baru dilahirkan, kemudian ia mensuarakan adzan di telinga yang kanan, dan iqamah pada telinga yang kiri, maka anak itu tidak diganggu oleh Ummush Shibyan (sejenis syaithan)". [HR. Ibnus Sunni hal. 220, no. 623, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Jabbaarah bin Al-Mughlis, Yahya bin ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim] Keterangan : Hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Jabbaarah bin Al-Mughlis, Yahya bin ‘Alaa’ dan Marwan bin Saalim, ketiganya dla’if. Tentang Jabbaarah bin Al-Mughlis, Al-Bazzaar berkata : ia banyak keliru. Daruquthni berkata : ia matruuk. Bukhari berkata : haditsnya mudltharib. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 2, hal. 50, no. 87). Tentang Yahya bin Al-’Alaa’, Imam Ahmad bin Hanbal berkata : ia pendusta. ‘Amr bin ‘Ali, Nasaiy dan Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Zur’ah berkata : haditsnya dla’if. As-Sajiy berkata : ia mungkarul hadits. Ad-Daulabiy berkata : ia matruukul hadits. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 11, hal. 229, no. 427). Tentang Marwan bin Salim, Bukhari dan Muslim berkata : ia munkarul hadits. Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Hatim berkata : ia munkarul hadits jiddan. Al-Baghawiy berkata : ia munkarul hadits, riwayatnya tidak boleh dijadikan hujjah. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 10, hal. 84, no. 172). 2. Tentang aqiqah yang dikerjakan pada selain hari ke-7 yaitu pada hari yang ke-14, ke-21, setelah tua dan sebagainya, sebagai berikut : عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَ ِلاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَ ِلاِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ. البيهقى 9: 303 Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, " ‘Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21 nya". [HR. Baihaqi juz 9, hal. 303, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin Muslim] عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ اَوْ اَرْبَعَ عَشْرَةَ اَوْ اِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ. الطبرانى فى الاوسط 5: 457، رقم: 4879 Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, " ‘Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21 nya". [HR. Thabrani dalam Al-Ausath juz 5, hal. 457, no. 4879, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin Muslim] Keterangan : Hadits tentang kebolehan ber’aqiqah pada hari ke-14, dan ke-21 tersebut di atas adalah dla'if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ismail bin Muslim Al-Makkiy.Tentang Isma’il bin Muslim Al-Makkiy, Al-Jauzajaaniy berkata : ia waahin jiddan. Abu Zur’ah berkata : ia dla’iful hadits. Abu Hatim berkata : ia dla’iful hadits, kacau pikirannya. Nasaiy berkata : ia matruukul hadits. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 1, hal. 289, no. 598). Adapun riwayat Nabi SAW beraqiqah setelah beliau menjadi Nabi, haditsnya sebagai berikut : عَنْ اَنَسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ. البيهقى 9: 300 Dari Anas RA bahwasanya Nabi SAW ber’aqiqah untuk dirinya sesudah beliau menjadi Nabi". [HR. Baihaqi juz 9, hal. 300, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abdullah bin Muharrar] Keterangan : Hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW ber’aqiqah untuk dirinya setelah menjadi Nabi, ini juga tak dapat dipakai sebagai hujjah/dasar, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Abdullah bin Muharrar. Tentang ‘Abdullah bin Muharrar, Ibnu Ma’in berkata : ia dla’if. ‘Amr bin ‘Ali, Abu Hatim, ‘Ali bin Junaid dan Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Zur’ah berkata : ia dla’iful hadits. Bukhari berkata : ia munkarul hadits. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 5, hal. 340, no. 661). 3. Tentang shadaqah seberat rambut yang dicukur dari kepala si Anak عَنْ عَلِيّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ قَالَ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ بِشَاةٍ وَ قَالَ: يَا فَاطِمَةُ اِحْلِقِى رَأْسَهُ وَ تَصَدَّقِى بِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً فَوَزَنَتْهُ فَكَانَ وَزْنُهُ دِرْهَمًا اَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ. الترمذى 3: 37، رقم: 1556 Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata : Rasulullah SAW telah ber’aqiqah bagi Hasan seekor kambing dan bersabda, "Ya Fathimah, cukurlah rambutnya dan bersedeqahlah seberat rambut kepalanya dengan perak". Maka adalah beratnya satu dirham atau setengah dirham". [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 37, no. 1556, dan ia mengatakan : Ini hadits hasan gharib, sanadnya tidak sambung] Keterangan : Hadits ini dla’if, karena sanadnya munqathi' (terputus), karena Abu Ja'far Muhammad bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali tidak sezaman dengan ‘Ali bin Abu Thalib. سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبُ اِلَيْكَ Hadiah di Hari Lahir (7), Waktu Pelaksanaan Aqiqah Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Pembahasan kali ini adalah pembahasan terakhir dari kami mengenai aqiqah. Kita masuk pada pembahasan waktu pelaksanaan aqiqah dan beberapa hal lainnya. Semoga bermanfaat. Waktu Pelaksanaan Aqiqah Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits, عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى » Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh? Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[1] Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh? Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها “Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ “Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari. Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06). Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini. Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh? Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya. Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah. Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[5] Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama. Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil. Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]. Wallahu a’lam. Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran? Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?” Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[7] Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?” Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.” Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”[8] Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[10] Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah– menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[11] Mengundang Makan-Makan Aqiqah Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[12] Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah. Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?” Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang baik.”[13] Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[14] Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[15] Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[16] Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang. Dari Buraidah, ia berkata, كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ. “Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za’faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) Alhamdulillah, usai sudah bahasan kami tentang aqiqah. Semoga bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Setelah pada artikel lalu kita membahas tentang Jual Kambing Aqiqah, sekarang kita bahas mengenai Dalil Tentang Aqiqah. Aqiqah (bahasa Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah) yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa akikah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dimaknai pula bahwa aqiqah merupakan rambut yang dibawa si bayi ketika lahir. Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan (kambing) yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan. Menurut istilah agama, yang dimaksud aqiqah ialah : hewan yang disembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik laki-laki ataupun perempuan pada hari yang ke tujuh sejak kelahirannya dengan tujuan semata-mata mencari ridla Allah. souvenir aqiqah, aqiqah 2018Pelaksanaan Aqiqah hendaknya dilakukan pada hari ketujuh. Dalam pelaksanaan itu, orang tua diperintahkan menggunduli rambut bayi dan memberi nama yang baik, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْـنَـةٌ بِـعَـقِـيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَـنْـهُ يَـوْمَ سَابِـعِـهِ وَيُـسَـمَّى فِيْـهِ وَيُـحْلَـقُ رَأْسُـهُ “Setiap anak yang lahir tergadai aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu ia diberi nama dan digunduli rambutnya.” (Hadits Sahih Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim). Apabila Anda ingin melaksanakan Qurban maupun Aqiqah, Anda dapat menggunakan jasa jual kambing yang terpercaya. Hadits lain tentang Aqiqah adalah: قَلَتْ عَائِـشَةُ : عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحَـسَـنِ وَالْـحُسَيْنِ يَوْمَ السَابِـعِ Aisyah berkata, “Rasulullah Saw pernah beraqiqah untuk Hasan dan Husein pada hari ketujuh…” (HR. Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi) Al-Ghazi dalam kitab Fathul Qorib al-Mujib mendefinisikan aqiqah sebagai berikut : (الذبيحة عن المولود يوم سابعه) أي يوم سابع ولادته بحسب يوم الولادة من السبع) Kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketuju kelahiran. Dalil dan dasar hukum aqiqah antara lain : 1. Hadits Riwayat Ahmad dan Imam Empat Hadits shahih menurut Tirmidzi. كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويتصدق بوزن شعره فضة أو ما يعادلها ويسمى Artinya: Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur habis rambutnya, dan diberi nama. 2. Hadits dalam sahih Bukhari (مع الغلام عقيقه فأهريقوا عنه دما وأميطوا عنه الأذى) Artinya: Setiap anak bersama aqiqahnya, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya 3. Hadits riwayat Abu Daud (أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ) Artinya: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. 4. Hadits riwayat Malik dan Ahmad وَزَنَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ شَعَرَ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ، فَتَصَدَّقَتْ بِزِنَتِهِ فِضَّةً. Artinya: Fatimah Binti Rasulullah SAW (setelah melahirkan Hasan dan Husain) mencukur rambut Hasan dan Husain kemudian ia bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya. 5. Hadits riwayat Abu Daud dan Nasai مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يُنْسَكَ عَنِ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ الْغُلاَمِ شاَتَاَنِ مُكاَفأَ َتاَنِ وَعَنِ الْجاَ رِيَةِ شاَةٌ Artinya: Barang siapa diantara kamu ingin beribadah tentang anaknya hendaklah dilakukan aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya dan untuk anak perempuan seekor kambing 6. Hadits riwayat Abu Daud أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنْ اَلْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا Artinya: Nabi beraqiqah untuk Hasan dan Husein masing-masing seekor kambing kibas. Al-Hafizh Ibnul Qayyim menyebutkan beberapa hikmah di balik syari’at aqiqah ini, di antaranya: Menghidupkan sunnah Nabi Taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah dan syukur kepada-Nya Membebaskan anak bayi dari pergadaian Penyebab kebaikan anak, pertumbuhannya, keselamatannya, panjang umurnya, dan terhindar dari gangguan setan Apabila Anda ingin melakukan Aqiqah maupun Qurban, Anda dapat mencari layanan jual kambing yang terpercaya. Kambing Aqiqah Berkah Kambing Aqiqah Berkah Binatang yang sah untuk qurban maupun aqiqah ialah yang tidak cacat, misalnya pincang, sangat kurus, sakit, putus telinga, putus ekornya, dan telah berumur sebagai berikut : Domba (da’ni) yang telah berumur satu tahun lebih atau sudah berganti giginya Kambing yang telah berumur dua tahun lebih Unta yang telah berumur lima tahun lebih Sapi, kerbau yang telah berumur dua tahun lebih Menurut H. Sulaiman Rasjid dalam bukunya ‘Fiqih Islam’ (479-450) disebutkan bahwa hukum aqiqah adalah sunat bagi orang yang wajib menanggung nafkah si anak. Untuk anak laki-laki hendaklah disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan seekor kambing saja, dan hendaklah disembelih pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya anak. Tetapi kalau tidak dapat, boleh juga beberapa hari setelah itu, asal anak belum sampai baligh (dewasa). Tags: aqiqah, binatang aqiqah, dalil aqiqah, Hakikat Aqiqah, hewan aqiqah, hukum aqiqah, ilmu aqiqah, jasa aqiqah, kambing aqiqah, ketentuan aqiqah, layanan aqiqah, Makna Aqiqah, paket aqiqah, sunah aqiqah, syarat aqiqah [1]. Hadits yang disebutkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ini kami dapati dengan lafazh : مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيٌَةٌ، فَأَهْرِيْقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوا عَنْهُ الأَذَى Bersama seorang bayi ada aqiqah, maka alirkan darah (yaitu, sembelihan aqiqah) untuknya dan singkirkan kotoran (yaitu cukurlah rambutnya) darinya. [HR Bukhari secara mu’allaq dan diwashalkan oleh Thahawi, juga riwayat Abu Dawud, 2839, Tirmidzi no. 1515] Hadis Tentang Aqiqoh Hadis Tentang Akikah Dalil Tentang Aqiqoh Hadits Tentang Akikah Makna Aqiqah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar