Selasa, 26 Maret 2019

Hukum aqiqah untuk yg sudah meninggal

  HUKUM 'AQIQAH UNTUK ORANG TUA YANG MENINGGAL DUNIA Bolehkah anak mengaqiqahkan orang tua anak-mengaqiqah-orang-tua Ada baiknya untuk melaksanakan aqiqah yang sesuai dengan syariat islam. Mengenai pelaksanaan kapan aqiqah dilaksanakan, waktu utama dalam melakukan aqiqah adalah tujuh hari setelah anak dilahirkan. Hal ini berdasarkan dalam hadist Rasulullah SAW yang artinya, “setiap anak terikat dengan aqiqahnya sampai disembelih pada hari ketujuh kelahirannya dan diberi nama.” (HR. Al Tirmidzi). Namun apabila saat hari ketujuh kelahiran sang anak tidak dapat melaksanakan aqiqah, maka pada aqiqah bisa dilaksanakan ada hari ke-14. Kemudian pada hari ke-21. Dan jika setelah hari ke-21 masih belum mampu, maka dibebaskan kapan saja ingin melaksanakan aqiqah jika sudah mampu. Meskipun saat anak sudah menginjak usia dewasa (baligh) maka gugurlah kewajiban orang tua mengaqiqahkan anaknya, tapi tidak gugur bagi anak untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri. Karena setelah seorang anak mencapai usia baligh, maka seluruh beban ibadah menjadi tanggungannya sendiri, bukan lagi orang tuanya. Anjuran mengaqiqahkan anaknya ini menjadi kewajiban ayah sebagai kepala keluarga yang menanggung nafkah anak. Namun bagaimana jika yang diaqiqahkan adalah orang tua kita? Apakah sang anak dapat melakukan aqiqah untuk orang tuanya? Mengaqiqahkan orang tua yang masih hidup hukumnya tidak dilarang, asalkan mendapatkan izin darinya dan dalam proses aqiqah terpenuhi. Sedangkan hukum mengaqiqahkan orang tua yang sudah meninggal dunia juga diperbolehkan apabila ada wasiat seperti melakukan kurban atas nama almarhum. Dan apabila orang tua telah meninggal dan tidak pernah memberikan wasiat untuk diaqiqahkan maka cukup dengan menyembelih hewan kemudian disedekahkan atas nama orang tua yang telah meninggal. Ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW, “ibuku meninggal dunia secara mendadak, dan menduga seandainya ibuku sempat berbicara dia akan bersedekah. Apakah dia akan memperoleh jika aku bersedekah atas namanya?”. Rasulullah menjawab: “ya benar”. (Shahih Bukhari bab Jana’iz no. 1299). Dalam surat An-najm ayat 39 juga dijelaskan bahwa tidak ada yang dapat membatasi seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam kelancaran ibadah orang lain. Aqiqah Anak ketika sudah dewasa Anak merupakan anugerah berupa harta yang tiada tara. Bagi orang tuannya, anak adalah belahan jiwa. Dalam islam terdapat cara berupa penyembelihan hewan (kambing) sebagai bentuk syukur bagi para orang tua atas kelahiran sang buah hati. Anjuran tersebut dinamakan aqiqah. Praktik jasa aqiqah pun kini semakin marak seiring dengan meningkatnya kesadaran… Yuk Kenali Syarat Dan Tata Cara Aqiqah Menurut Islam Aqiqah merupakan suatu pelaksaan ibadah yang sangat suci sekali bagi umat islam. Maka dai itu ada baiknya bagi Anda untuk lebih mengetahui bagaimana Aqiqah itu dilaksanakan. Para ulama telah sepakat untuk pelaksaan aqiqah dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran si kecil. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yaitu “… Apakah boleh Berqurban tapi Belum Aqiqah Pertama, hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkadah dan terkait dengan kelahiran anak, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt, Sedangkan qurban adalah ibadah terkait dengan hari idul adha sebagai amalan sunnah mu’akkadah, untuk meneladani sunnah Nabi Ibrahim as. Kedua, memang kedua ibadah tersebut jika dilihat dari bentuk dan tata cara aplikasinya… Hukum Aqiqoh Dan Qurban Untuk Orang Tua Yang Sudah Meniggal Bolehkah Aqiqah dan Qurban Untuk Orang Tua yang Telah Meniggal ? - Pak Idam adalah seorang pengusaha yang sukses. Ketekunan yang tertanam dalam jiwa dan kepatuhan kepada orang tua telah mengantarkannya menjadi orang yang sukses di masa tuanya. Suatu ketika pak Idam mendengar cerita bahwa orang tuanya belum diaqiqohi. Sebagai putra yang berbakti kepada orang tuanya, pak Idam segera membeli kambing guna mengaqiqohi orang tuanya. Hukum Aqiqoh Dan Qurban Untuk Orang Tua Yang Sudah Meniggal Qurban, tanda cinta kepada Allah dan sesama Hukum aqiqoh dan qurban untuk orang tua yang sudah meninggal Pertanyaan : Bolehkah sebagai anak meng-aqiqohi orang tuanya yang sudah meninggal ? Pertimbangan : Aqiqoh adalah sunnah Rosul yang didefinisikan sebagai penyembelihan hewan dalam rangka penebusan seorang anak. Sebab, sebagaimana sabda Nabi Muhammad salallahu `alaihi wasalam, tubuh seorang anak itu tergadaikan sampai ia diaqiqahi. Dari Hadits tersebut di atas yang di riwayatkan oleh Turmudzi, Imam Ahmad Ibn Hambal berkomentar bahwa anak yang tidak diaqiqahi padahal orang tuanya sudah mampu, kelak di hari kiamat tidak akan mampu memberikan syafaat kepadanya. Yang paling sempurna, aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing yang telah berumur satu tahun. Sedangkan untuk anak perempuan cukup satu ekor kambing saja. Boleh satu ekor kambing untuk anak laki-laki, tetapi hal ini kurang sempurna. Waktu disunnahkannya aqiqah adalah sejak kelahiran sang buah hati, sampai sang anak menginjak baligh. Namun, sangat utama jika aqiqah dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi terlahir. Jika anak telah menginjak baligh sebelum ia sempat diaqiqahi, maka orang tua tidak lagi menanggung beban aqiqah. Sebaliknya, beban kesunnahan aqiqah akan menjadi tanggungan anak tersebut. Sebab, setelah manusia menginjak usia baligh, maka seluruh beban ibadah akan dibebankan di pundaknya sendiri, bukan orang lain. Lihat Al-Qur`an surat An-Najm ayat 39. Namun, dalam ayat tersebut tidak dapat membatasi seseorang untuk bisa ikut berpartisipasi dalam kelancaran ibadah orang lain. Dalam persoalan di atas misalnya, syara` memberikan kewenangan kepada seorang anak untuk mengaqiqahi orang tuanya yang belum terlaksana. Dengan catatan, pleksanaan aiqiah tersebut telah mendapat izin atau wasiat. Sayyidina Ali rodiyallahu `anhu berkata : "Baginda Nabi pernah memerintahkanku untuk melakukan qurban untuknya dan aku melaksanakan qurban untuknya ". Dari kisah sayyidina Ali ini ulama menyimpulkan bahwa melaksanakan qurban untuk orang lain diperbolehkan asalkan telah mendapat izin atau wasiat darinya. Selanjutnya, ulama mencoba mengembangkan konklusi hukum demikian ini ke dalam persoalan aqiqah. Mengingat, qurban dan aqiqah memiliki banyak persamaan. Bahkan, menurut Abu Hasan Al-`Ubadi melakukan qurban untuk mayit (orang meninggal) tidaklah harus mendapat wasiat darinya. Dengan tegas beliau memaparkan pahala qurban tetap akan sampai pada mayit. Beliau berargumen bahwa qurban adalah sedekah, untuk mengirimkan qurban pada orang lain tidak harus mendapatkan izin atau wasiat darinya. Begitupun halnya dengan masalah aqiqah. Bila Orang Tua Tidak Mampu Mengaqiqahkan Anaknya? Hukum Aqiqah Jika Tidak Mampu Aqiqah Akikah Untuk Orang Tua Hukum Aqiqah Bila Tidak Mampu Hukum Orang Tua Tidak Mengaqiqahkan Anaky BILA ORANG TUA TIDAK MAMPU MENGAQIQAHKAN ANAKNYA? Pertanyaan. Jika orang tua dahulunya tidak mampu mengaqiqahkan anaknya, apakah masih ada keharusan untuk mengaqiqahinya ketika mereka sudah mampu? Atau haruskah masing-masing anak itu mengaqiqahi diri mereka sendiri ketika sudah mampu? Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang orang yang belum sempat mengaqiqahi anak-anaknya kemudian dia meninggal, apakah keharusan mengaqiqahi anak-anaknya menjadi gugur? Ataukah anak-anak itu yang mengaqiqahi diri mereka sendiri? Beliau rahimahullah menjawab: Aqiqah itu sunah muakkadah (amalan sunat yang sangat ditekankan-red) bagi orang yang mampu untuk melakukannya, yaitu penyembelihan dua ekor kambing jika bayinya laki dan satu ekor kambing jika bayinya perempuan. Paling bagus, hewan-hewan itu disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahiran bayi yang diaqiqahi. Misalnya, lahir pada hari Selasa, maka diaqiqahi pada pada senin berikutnya; Jika hari Jum’at, maka hari Kamis diaqiqahi dan begitu seterusnya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka pada hari ke-14; Jika pada hari ke-14 juga belum bisa, maka dilaksanakan pada hari ke-21; Jika pada hari itu juga belum bisa, maka kapan saja bisa dilaksanakan. Itulah pendapat para Ulama ahli fikih. Jika orang tua tidak memliki kemampuan untuk melakukannya pada hari itu, maka keharusan melaksanakan aqiqah itu menjadi gugur. Karena aqiqah disyari’atkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan. Adapun orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka dia tidak dibebani untuk melakukannya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla : فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu [At-Taghâbun/64:16] Dan firman-Nya: لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al-Baqarah/2:286] Jadi orang tua yang sudah meninggal itu dan memiliki beberapa anak yang belum sempat diaqiqahi, maka kita lihat keadaannya: Jika dia termasuk orang-orang yang memeliki kesulitan dalam masalah ekonomi sehingga dia tidak bisa mengaqiqahi anak-anaknya, maka anak-anak itu tidak memiliki kewajiban untuk mengqadha’ pelaksanaan aqiqah itu, karena orang tua mereka ketika itu tidak terkena beban syari’at ini. Jika dia (semasa hidupnya-red) termasuk orang-orang yang kaya, akan tetapi dia tidak mengaqiqahi anak-anaknya karena meremehkan syari’at ini, maka ini tergantung keadaan dan kesepakatan ahli warisnya. Maksudnya, jika diantara ahli warisnya ada yang memiliki keterbatasan akal, keterbelakangan mental atau ada yang belum baligh, maka bagian mereka tidak boleh diambil untuk melaksanakan aqiqah ini. Jika semua ahli warisnya mursyidûn (berakal sehat dan memiliki kemampuan untuk mengelola hartanya dengan baik-red) lalu mereka ingin dan sepakat untuk menunaikan aqiqah itu dengan menggunakan harta warisan orang tua mereka, maka itu tidak apa-apa. Jika itu tidak terjadi lalu masing-masing dari anak-anak itu berkeinginan untuk mengaqiqahi diri mereka sendiri sebagai wakil dari orang tua mereka atau sebagai qadha’ dari kewajiban orang tua mereka, maka itu juga tidak apa-apa.[1] Ditempat lain, beliau rahimahullah menyebutkan perbedaan pendapat para Ulama tentang orang yang mengaqiqahi dirinya. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa sebagian para Ulama memandang bolehnya seseorang mengaqiqahi dirinya sendiri, jika dia tahu orang tuanya belum mengaqiqahinya. Namun sebagian Ulama yang lainnya memandang bahwa aqiqah dibebankan hanya kepada orang tua. Jika orang tua melaksanakan mengaqiqahi anaknya, maka dia berhak mendapatkan pahala. Jika tidak, maka dia tidak mendapatkan pahala.[2] Hukum Meng-Aqiqah-i Anak atau Orang Tua yang Sudah Meninggal, WAJIB BACA Tanya: Bagaimana hukumnya mengaqiqahkan anak yang sudah wafat? Apakah kewajiban orang tua belum gugur? Mohon dijawab terima kasih. Wassalamualaikum. (Ardiansyah Permadi) Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Alhamdulillah washshalatu wassalamu 'alaa rasulillah. Aqiqah termasuk sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dianjurkan. Berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda; كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى Artinya: "Setiap bayi tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan kambing pada hari ke-7, dicukur rambutnya serta diberi nama" (HR.Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’iy, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abdul Haq, lihat at-Talkhis 4/1498 oleh Ibnu Hajar) Maksud tergadaikan di sini adalah tertahan dari suatu kebaikan yang seharusnya diperoleh jika ia diaqiqahi. Karena seorang bisa kehilangan memperoleh kebaikan karena perbuatannya sendiri atau karena perbuatan orang lain. (Lihat Tuhfatul Maudud,Ibnul Qayyim hal.122-123, tahqiq: Syeikh Salim al-Hilali) Berdasarkan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits diatas maka tidak selayaknya meninggalkan aqiqah jika mampu. Bahkan kebiasaan para salaf mereka senantiasa melaksanakan aqiqah untuk anak-anak mereka. Yahya al-Anshori rahimahullahu mengatakan: “Aku menjumpai manusia dan mereka tidak meninggalkan aqiqah dari anak laki-laki maupun perempuan”. (Al-Fath ar-Robbani, Ibnul Mundzir 13/124, lihat Ahkam al-Maulud hal.51, Salim bin Ali Rosyid as-Sibli dan Muhammad Kholifah Muhammad Robah) Baca Juga: Hukum Berqurban untuk Orang yang Sudah Meninggal Berhubungan dengan mengaqiqahi orang yang sudah meninggal maka tidak lepas dari tiga keadaan; Pertama: Orang tua mengaqiqahi anak yang telah meninggal. Jika anak tersebut meninggal ketika sudah terlahir ke dunia, tetap disyariatkan untuk diaqiqahi. Dan jika meninggalnya masih dalam kandungan dan sudah berusia 4 bulan maka disyariatkan aqiqah, jika kurang dari 4 bulan maka tidak disyariatkan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Apabila janin itu keguguran setelah ditiupkannya ruh maka janin tersebut dimandikan, dikafani, disholati dan dikubur di pekuburan kaum muslimin, serta diberi nama dan diaqiqahi. Karena dia sekarang telah menjadi seorang manusia, maka berlaku pula baginya hukum orang dewasa”. (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah hal.90, Ibnu Utsaimin) Kedua: Anak mengaqiqahi orang tua yang sudah meninggal. Hukumnya tidak disyariatkan, karena perintah aqiqah ditujukan kepada orang tua bukan kepada anak. Ketiga: Mengaqiqahi seorang manusia yang telah meninggal. Jika ada seseorang yang meninggal dan dia semasa hidupnya belum diaqiqahi, maka tidak disyariatkan bagi ahli warisnya untuk mengaqiqahinya. Allohu A’lam. (Faedah ini kami dapat dari Syaikhuna Saami bin Muhammad as-Shuqair, murid senior dan menantu Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Jazaahullohu Khoiron). Syahrul Fatwa Baca Juga: Bolehkah Berkurban tapi Belum Melaksanakan Aqiqoh? Kalau meng-Aqiqahi diri sendiri bagaimana? Dalam madzhab Syafi’i, penulis kitab Fathul Qorib, Muhammad bin Qosim Al Ghozzi berkata, “Aqiqah tidaklah luput jika diakhirkan setelah itu. Jika akikah diakhirkan hingga baligh, maka gugurlah tanggung jawab akikah dari orang tua terhadap anak. Adapun setelah baligh, anak punya pilihan bisa untuk mengakikahi dirinya sendiri.” Beberapa ulama menganjurkan mengakikahi diri sendiri seperti Ibnu Sirin dan Al Hasan Al Bashri. Ibnu Sirin berkata, لو أعلم أنه لم يعق عني لعققت عن نفسي “Seandainya aku tahu bahwa aku belum diakikahi, maka aku akan mengakikahi diriku sendiri.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf, 8: 235-236. Sanadnya shahih kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726). Al Hasan Al Bashri berkata, إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا “Jika engkau belum diakikahi, maka akikahilah dirimu sendiri jika engkau seorang laki-laki.” (Disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 8: 322. Sanadnya hasan kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726) Imam Malik rahimahullah berpendapat tidak perlunya mengakikahi diri sendiri. Imam Malik berkata, “Tidak perlu mengakikahi diri sendiri karena hadits yang membicarakan hal tersebut dho’if. Lihatlah saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum diakikahi di masa jahiliyah, apakah mereka mengakikahi diri mereka sendiri ketika telah masuk Islam? Jelaslah itu suatu kebatilan.” (Al Mudawanah Al Kubro karya Imam Malik dengan riwayat riwayat Sahnun dari Ibnu Qosim, 5: 243. Dinukil dari Fathul Qorib, 2: 252). Dengan jelas Imam Nawawi mengatakan bahwa tidak perlu mengakikahi diri sendiri. Alasan menguatkan pendapat ini adalah: 1. Ada sebuah hadist berikut, tetapi dinilai dhaif, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi dirinya sendiri setelah ia diutus sebagai Nabi” (HR. Al Baihaqi 9: 300). Hadits yang membicarakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi diri sendiri adalah hadits dho’if (lemah). 2. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum diakiqahi di masa jahiliyah, tidak mengakikahi diri mereka sendiri ketika telah masuk Islam. 3. Akiqah menjadi tanggung jawab orang tua dan bukanlah anak. 4. Hukum akikah menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah sunnah dan bukanlah wajib. Wallahu a’lam, hanya Allah yang memberi taufik. Kakek Mengakikahkan Cucu, Bolehkah? Ada semacam kewajiban bagi seorang ayah saat buah hatinya baru lahir ke dunia. Sang ayah diwajibkan menyelenggarakan aqiqah, menyembelih dua kambing bagi bayi laki-laki dan satu kambing untuk bayi perempuan. Tetapi, ada kalanya seorang ayah tidak memiliki rezeki cukup untuk melaksanakan aqiqah. Sehingga, kewajiban itu sampai tertunda hingga anak telah dewasa. Sementara ada peristiwa seorang kakek berinisiatif menggelar akikah untuk cucunya yang baru lahir. Alasannya, karena ayahnya belum memiliki rezeki cukup. Bagaimana jika peristiwa semacam ini terjadi. Apakah boleh kakek mengakikahkan cucunya? Dikutip dari konsultasi syariah, aqiqah akikah merupakan tanggung jawab orangtua sebagai bentuk nafkah kepada anaknya. Namun demikian, terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bolehnya seorang kakek mengakikahkan cucunya. Salah satunya hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas RA. " Bahwa Rasulullah SAW mengaqiqahi Hasan dan Husain, masing-masing dengan kambing jantan." Dalam riwayat lain oleh Nasai, Ibnu Abbas RA menyatakan, " Rasulullah SAS mengaqiqahi Hasan dan Husain Radhiyallahu ‘anhuma, masing-masing dengan dua ekor kambing." Terdapat beberapa pendekatan fikih terkait dibolehkannya kakek mengaqiqahi cucunya. Pertama, ibadah maliyah yaitu mengeluarkan harta boleh diwakilkan kepada orang lain setelah mendapat izin dari pihak pertama. Kedua, kakek itu termasuk bapak dan posisinya laiknya bapak. Namun demikian, aqiqah sang kakek untuk cucunya boleh dilakukan, asalkan bapak si anak setuju. Jika tidak, maka bapak si anak dapat mengganti biaya aqiqah itu. Bagaimana Hukum Meng Aqiqahi Orang Tua Yang Belum Sempat Aqiqah Pertanyaan : Seandainya orang tua belum Aqiqah dan orang tua masih hidup, terus anaknya mampu dan membelikan orang tuanya kambing untuk Aqiqah, itu bagaimana hukum Aqiqahnya ? Jawaban : Hukum meng-Aqiqohi orang tua yang sudah meninggal dunia adalah sama dengan hukum ber-Qurban untuknya, yaitu diperinci : A. Apabila ada Wasiat darinya maka hukumnya Sah. B. Apabila tidak ada Wasiat darinya maka hukumnya tidak Sah / tidak boleh, sebab kita tidak boleh melakukan Ibadah yang menjadi tanggungan orang lain / Aqiqoh tanpa ada Izin darinya. Yang diperbolehkan disini adalah kita menyembelih hewan kemudian disedekahkan yang pahalanya atas orang tua yang telah meninggal. Wallahu a’lam. [Zean Areev] حاشية القليوبي ج ٤ ص ٢٥٧ قَوْلُهُ : ( وَسِنُّهَا إلَخْ ) أَيْ وَهِيَ كَاْلأُضْحِيَّةِ فِي سِنِّهَا وَسَلاَمَتِهَا وَاْلإِهْدَاءِ وَالتَّصَدُّقِ وَقَدْرِ الْوَاجِبِ وَجِنْسِهِ وَوُجُوبِهَا بِالنَّذْرِ أَوْ الْجُعْلِ وَاعْتِبَارِ اْلأَفْضَلِ مِنْهَا قَدْرًا وَجِنْسًا وَمُشَارَكَةً وَلَوْنًا وَجَوَازِ الادِّخَارِ مِنْ غَيْرِ الْوَاجِبَةِ , وَوُجُوبِ التَّصَدُّقِ بِجَمِيعِ الْوَاجِبَةِ وَجَوَازِ أَكْلِ وَلَدِهَا وَشُرْبِ فَاضِلِ لَبَنِهَا وَعَدَمِ صِحَّةِ نَحْوِ الْبَيْعِ وَلَوْ لِجِلْدِهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ. نَعَمْ لاَ يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِجُزْءٍ مِنْهَا نِيئًا وَيَجُوزُ بَيْعُ الْغَنِيِّ مَا أُهْدِيَ لَهُ مِنْهَا قَالَهُ شَيْخُنَا اهـ الموسوعات الفقهية ج ٣٠ ص ٢٧٧-٢٧٨ ﺫﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﻘﻴﻘﺔ ﺗﻄﻠﺐ ﻣﻦ ﺍﻷﺻﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﻠﺰﻣﻪ ﻧﻔﻘﺔ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ﺑﺘﻘﺪﻳﺮ ﻓﻘﺮﻩ، ﻓﻴﺆﺩﻳﻬﺎ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ ﻧﻔﺴﻪ ﻻ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ، ﻭﻻ ﻳﻔﻌﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﻻ ﺗﻠﺰﻣﻪ ﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﺇﻻ ﺑﺈﺫﻥ ﻣﻦ ﺗﻠﺰﻣﻪ فتح الوهاب ج ٢ ص ٣٣٠ ﻭﻻ ﺗﻀﺤﻴﺔ ﻻﺣﺪ ﻋﻦ ﺁﺧﺮ ﺑﻐﻴﺮ ﺇﺫﻧﻪ ﻭﻟﻮ ‏) ﻛﺎﻥ ‏( ﻣﻴﺘﺎ ‏) ﻛﺴﺎﺋﺮ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺑﺨﻼﻑ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺃﺫﻥ ﻟﻪ ﻛﺎﻟﺰﻛﺎﺓ . ﻭﺻﻮﺭﺗﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺃﻥ ﻳﻮﺻﻲ ﺑﻬﺎ، ﻭﺍﺳﺘﺜﻨﻰ ﻣﻦ ﺍﻋﺘﺒﺎﺭ ﺍﻻﺫﻥ ﺫﺑﺢ ﺃﺟﻨﺒﻲ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﺑﺎﻟﻨﺬﺭ ﺑﻐﻴﺮ ﺇﺫﻥ ﺍﻟﻨﺎﺫﺭ، ﻓﻴﺼﺢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻭﻳﻔﺮﻕ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﻟﺤﻤﻬﺎ، ﻻﻥ ﺫﺑﺤﻬﺎ ﻻ ﻳﻔﺘﻘﺮ ﺇﻟﻰ ﻧﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻣﺮ Ingin bertanya permasalahan Agama? Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal Pertanyaan : Kami punya orang tua dan sampai meninggal pun belum pernah berqurban, dikemudian hari kami selaku putera-puteranya bermusyawarah mengenai kurban untuk orang tua kami. Yang ingin kami tanyakan adalah, apakah berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia itu boleh ? Jawaban : Bahwa hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah… dalam "Qurban Aqiqah" Bolehkah Memberi Zakat Kepada Cucu Sendiri Pertanyaan : Mau bertanya tadz jika zakat diberikan kepada cucu kita boleh atau tidak ? Jawaban : Penanya yang budiman terjadi berbagai macam polemik diantara bagaimana hukum zakat yang diberikan kepada anak atau cucunya yang miskin. Para alim ulama' menyatakan bahwa orang tua boleh memberikan zakat kepada anak maupun cucunya… Memakan Daging Qurban Pertanyaan : Apakah daging qurban yang dilakukan untuk / atas nama orang yang sudah meninggal, boleh juga untuk dimakan oleh keluarganya? Jawaban : Daging tersebut harus disedekahkan secara keseluruhan kepada orang fakir miskin. Tidak seorangpun boleh memakan atau mengambil daging tersebut atas nama Hadiah. Dengan demikian maka orang kaya tidak… dalam "Qurban Aqiqah" Silahkan disukai dan dibagikan, insya Allah bernilai ibadah, dan jadikan ladang pahala dalam menginfaqkan ilmu-ilmu Syari'ah. Hamba yang menunjukan kebaikan kepada orang lain maka dia juga akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukan kebaikan tersebut. Syukron :)    

Hukum aqiqah dan pelaksanaannya

  HUKUM AQIQAH DAN PELAKSANAANYA Pengertian Aqiqah, Hukum, Waktu Pelaksanaan, Syarat Dan Hikmah Aqiqah Terlengkap – Pengertian Aqiqah, Hukum Aqiqah, Waktu Pelaksanaan Aqiqah, Syarat Aqiqah, Ketentuan Hewan Aqiqah, Hal Yang Disunahkan Dalam Aqiqah Dan Hikmah Aqiqah Terlengkap – Aqiqah adalah pengurbanan hewan dalam syariat islam sebagai bentuk ucapan rasa syukur umat islam kepada Allah SWT. atas bayi yang dilahirkan dengan syarat-syarat tertentu menurut syariat ajaran islam. Akikah atau Aqiqah berarti menyembelih kambing pada hari ketujuh kelahiran anak. Menurut bahasa, aqiqah berarti pemotongan. Hukum akikah adalah sunah muakkad bagi yang mampu dan sebagai ulama menyebutkan bahwa akikah itu wajib. Hadist yang diriwayatkan Aisyah r.a menyatakan “ Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw telah menyuruh kita agar menyembelih hewan aqiqah untuk seorang anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk seorang anak perempuan satu ekor kambing”. Hukum Aqiqah Hukum akikah bagi orang tua yang baru melahirkan anaknya adalah sunah muakkad dan sebagai ulama menyebutkan bahwa akikah itu wajib. Pada hari itu, anak dicukur ranmbutnya dan diberi nama. Rasulullah Saw bersabda: عَنْ سَمُرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْه وسلَم كُلُّ غُلَامٍ بِعَقيْقَتِهِ تُذْبَـــح يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُخْلَقُ وَيُسَمَّى “Dari samura r.a., sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda, “Setiap anak yang baru lahir tergadai dan ditebus dengan aqiqah yaitu disembeli aqiqah itu untuknya pada hari ketujuh lalu dicukur dan diberi nama “. Waktu Pelaksanaan Aqiqah Penyembelihan hewan berkenaan dengan kelahiran anak atau aqiqah disyariatkan dilakukan pada hari ketujuh kelahiran anak, namun jika hari ketujuh terlewatkan maka pelaksanaan akikah pada hari ke-14 atau hari ke-21, seperti penjelasan hadist dibawah ini: عَنْ عَبْدِ الله بُرَيْدَةِ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النّبِي صَلّى الله عَلَيْه وسلَم اَنَّهُ قَالَ اَلْعَقِيْقةُ تُذْبِحُ لِسَبْعٍ ولِعَرْ بغ وَلإِحْدَى وَعِشْرِي “Dari Abdullah bin Buraidah dari ayah Nabi saw., sesungguhnya Nabi telah bersabda,”Aqiqah itu disembeli pada hari ke tujuh, atau empat belas atau kedua puluh satu” Syarat Aqiqah Hewan akikah yaitu jenis kibsy atau domba putih yang sehat dan berumur minimal setengah tahun dan kambing jawa minimal berumur satu tahun. Bagi anak laki-laki dua ekor dan untuk anak perempuan satu ekor, tapi jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk Aqiqah anak laki-laki juga diperbolehkan dan mendapat pahala. Syarat Ketentuan Hewan Aqiqah, ketentuan atau syarat hewan aqiqah sama halnya dengan ketentuan atau syarat hewan qurban yaitu cukup umur artinya telah mencapai atau lebih dari satu tahun dan hewan tersebut sehat atau terhindar dari cacat fisik. Hal-hal Yang Disunahkan Waktu Pelaksanaan Aqiqah Membaca Basmalah Membaca sholawat atas nabi Membaca takbir Membaca do’a بِسْمِ اللهِ اَللَهُمَّ مِنْكَ وَاِلَيْكَ عَقِيْقةُ فُلَانْ…..بِنْ فَتَقَبَّلْ مِنّيْ Disembelih sendiri oleh ayah dari anak yang di aqiqah Daging aqiqah dibagikan pada fakir miskin dan tetangga setelah masak Anak dicukur rambutnya dan diberi nama serta bersedekah seberat rambut bayi yang baru dicukur dengan nilai satu atau seperdua dirham. sebagian ulama berpendapat bahwa sedekah itu seberat timbangan rambut bayi dengan nilai harga emas, sebagaimana Rasulullah saw Bersabda: “Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata, Rasulullah saw. telah mengaqiqahkan hasan dengan seekor kambing, maka Nabi bersabda, “Hai fatimah, cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan emas seberat timbangan rambutnya, kemudia Ali berkata lagi fatimah kemudian menimbangnya satu dirham atau setengah dirham”. HR.At-Turmudzi. Hikmah Aqiqah Adapun beberapa hikmah dari Aqiqah, diantaranya Melaksanakkan sunnah Nabi Muhammad SAW dalam meneladani Nabi Ibrahim A.S Melindungi dari godaan dan gangguan setan yang mengikuti sang bayi ketika baru lahir. Salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT dan ucapan rasa syukur pada karunia yang telah diberikan didunia berupa keturunan. Dapat memperkuat tali kerukunan dan persaudaraan antar masyarakat. Membebaskan anak dari ketergadaian Pembelaan orang tua di hari kemudian Menghindarkan anak dari musibah dan kehancuran, sebagaimana pengorbanan Nabi Ismail dan Ibrahim Pembayaran hutang orang tua kepada anaknya Pengungkapan rasa gembira demi tegaknya Islam dan keluarnya keturunan yang di kemudian hari akan memperbanyak umat Nabi Muhammad SAW Sumber jaminan sosial dan menghapus kemiskinan di masyarakat Demikian artikel tentang”Pengertian Aqiqah, Hukum, Waktu Pelaksanaan, Syarat Dan Hikmah Aqiqah Terlengkap“, semoga bermanfaat dan jangan lupa ikuti postingan berikutnya. Hukum Aqiqah Dalam Islam dan Dalilnya Aqiqah atau akikah merupakan perayaan menyembelih kambing yang dilakukan sebagai bentuk dari rasa syukur karena bayi yang baru lahir. Untuk persyaratan jumlah kambing yang akan di sembelih antara bayi laki-laki dan perempuan juga berbeda yakni 1 ekor kambing untuk anak perempuan dan 2 ekor kambing untuk anak laki-laki. Berikut ini, kami akan mengulas secara lengkap mengenai hukum aqiqah, dalil serta beberapa hal penting mengenai aqiqah dalam Islam lainnya. Ketentuan Aqiqah Keutamaan Aqiqah Qurban dan Aqiqah Pendapat Ulama tentang Aqiqah Ada beberapa pendapat tentang hukum aqiqah dari beberapa ulama seperti wajib, sunnah mu’akkad serta sunnah, berikut ulasan selengkapnya. A. Antara Sunnah dan Wajib Jumhur atau kebanyakan berpendapat jika aqiqah hukumnya adalah sunnah dan sebagian lagi adalah wajib dengan alasan berhubungan langsung dengan sembelih merupakan hal penting. Selama seseorang mampu melaksanakan aqiqah, maka harus segera dilaksanakan pada hari ke-7 merupakan jawaban terbijak. baca juga: Hukum Menyakiti Hati Wanita Dalam Islam Hukum Menyakiti Hati Orang Lain Hukum Suami Tidak Menafkahi Istri Hukum Istri Melawan Suami Menurut Islam Hukum Menafkahi Orang Tua Setelah Menikah B. Berdasarkan Hadits Yang Shohih Hukum aqiqah menurut pendapat yang terkuat adalah sunnah muakkadah yang merupakan pendapat jumhur ulama berdasarkan hadits, ada juga ulama yang memberikan penjelasan jika aqiqah adalah penebus yang artinya aqiqah menjadi pertanda terlepasnya dari kekangan jin yang ada bersama bayi sewaktu lahir. C. Aqiqah Sunnah Ditunaikan Untuk Anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Semua bayi tergadaikan dengan aqiqah-nya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama, dan dicukur rambutnya.” [Shahih, HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lainnya]. Semua umat muslim tentunya sudah tidak asing dengan amalan dari aqiqah yang adalah butiran sunnah yang sudah menjadi tradisi bagi seluruh umat muslim di berbagai belahan dunia sehingga sunnah ini tidak akan punah termakan oleh waktu. baca juga: Hukum Kredit Dalam Islam Hukum Mengeluarkan Air Mani dengan Sengaja Hukum Keluar Air Mazi Bagi Perempuan Hukum Keluar Air Mazi dengan Sengaja Hukum Wanita Bekerja Dalam Islam D. Hukum Aqiqah Diwajibkan Ada sebagian muslim yang mewajibkan amalan aqiqah ini sebab menyambut kehadiran anak adalah sesuatu hal yang sangat penting khususnya bagi mereka yang mampu dalam segi finansialnya maka sangat diutamakan untuk melaksanakan aqiqah. Manfaat Membaca Alquran Bagi Ibu Hamil Tips Puasa Ramadhan Untuk Ibu Menyusui Doa Ibu Hamil Untuk Anak Dalam Kandungan Hukum Aqiqah Dengan Dalil Al-Qur’an Berikut beberapa dalil Al-Qur’an yang terkait dengan hukum melakukan aqiqah menurut ajaran Islam, Antara lain: Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy berkata jika Rasulullah bersabda, “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]. baca juga: Hukum Semir Rambut Warna Hitam Hukum Membaca Yasin di Kuburan Hukum Wanita Bercadar Hukum Bekerja di Bank Hukum Hamil Diluar Nikah Samurah bin Jundab Dari Samurah bin Jundab berkata jika Rasulullah bersabda, ““Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya di sembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]. baca juga: Hukum Minum Alkohol Tidak Sengaja Hukum Talak Dalam Pernikahan Wanita Karir dalam Pandangan Islam Hukum Menikah Saat Hamil Kewajiban Anak Laki-Laki Terhadap Ibunya Setelah Menikah Aisyah Aisyah berkata jika Rasulullah bersabda, “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]. Ibnu Abbas Ibnu Abbas berkata jika Rasulullah bersabda, “Menaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]. baca juga: Rumah Tangga Menurut Islam Hukum Berjabat Tangan dalam Islam Syirik Dalam Islam Hak Waris Anak Tiri Sifat Sombong Dalam Islam ‘Amr bin Syu’aib ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya berkata jika Rasulullah bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]. Fatimah binti Muhammad Fatimah binti Muhammad berkata saat melahirkan Hasan jika Rasulullah bersabda, “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]. Cara Mengajari Anak Sholat Tips Puasa Ramadhan Untuk Ibu Hamil Cara Mendidik Anak Menurut Islam Hukum Beserta Tuntunan Pelaksanaan Aqiqah Berikut beberapa hukum yang diikuti dengan tuntunan dalam melaksanakan aqiqah, yaitu: Aqiqah Merupakan Syairat Islam Aqiqah adalah satu yang sudah disyariatkan di dalam agama Islam dan beberapa dalil yang mengatakan diantaranya adalah hadits Rasulullah saw yang berkata “setiap anak tertuntut dengan aqiqahnya”. Jumlah Hewan Sembelihan Hadits lainnya mengatakan jika, “Anak laki-laki (Aqiqah-nya dengan 2 kambing) sedang anak perempuan (Aqiqah-nya) dengan 1 ekor kambing”. Baca juga: Kewajiban Wanita Setelah Menikah Menurut Al-Quran Perbedaan Talak Satu, Dua dan Tiga Hukum Memakai Parfum Beralkohol Proses Penciptaan Manusia menurut Islam Pengertian Mahram Hukum Aqiqah Merupakan Sunnah Status hukum aqiqah merupakan sunnah dan hal ini sesuai dengan pandangan dari kebanyakan ulama seperti contohnya Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang didasari dengan beberapa dalil diatas. Para ulama tidak mengatakan wajib dengan membuat penyataan jika seandainya aqiqah adalah wajib, maka kewajiban ini menjadi hal yang sudah diketahui oleh agama dan Rasulullah juga pastinya sudah memberikan keterangan tentang kewajiban itu. Ada beberapa ulama seperti Imam Laits serta Imam Al-Bashri yang mengungkapkan pendapat jika hukum dari aqiqah merupakan wajib berdasarkan dari 1 hadits yakni “Kullu ghulamin murtahanun bi ‘aqiqatihi'” yang berarti setiap anak tertuntut dengan aqiqah. Tidak Mematahkan Tulang Sembelihan Saat menyembelih, ada hal yang harus diperhatikan yakni tidak mematahkan tulang dari sembelihan dengan hikmah yang terkandung adalah tafa’ul atau berharap akan keselamatan tubuh serta anggota badan dari anak tersebut. Hewan Sembelihan Tidak Boleh Cacat Aqiqah yang sah adalah jika sudah memenuhi syarat dari hewan qurban yakni tidak cacat dan juga sudah masuk ke usia yang sudah disyaratkan dalam Islam. Aqiqah adalah menyembelih di hari ke-7 sejak kelahiran bayi yang dimaksudkan untuk bersyukur pada Allah. Akan tetapi selain kambing, sapi atau unta juga diperbolehkan dengan syarat hanya 1 unta atau 1 sapi untuk 1 orang anak saja, namun sebagian ulama berpendapat jika aqiqah yang diperbolehkan hanya memakai kambing saja sebab sesuai dengan dalil Rasulullah saw. Aqiqah Berarti Tali Belenggu Anak Aqiqah juga mengartikan terbebasnya anak dari tali belenggu yang menjadi penghalang anak dalam memberikan syafaat pada orangtua dan aqiqah merupakan menjalankan syair Islam. Saat menyembelih, maka diniatkan untuk melakukan aqiqah dengan menyebut nama bayi serta nama bapaknya dan bumbu untuk memasak harus lebih manis dengan tujuan supaya akhlaknya juga manis dan memang menjadi kesukaan dari Rasulullah adalah manis serta madu. Mencukur Rambut Sesudah Aqiqah Mencukur rambut dilakukan sesudah proses aqiqah selesai dilakukan seperti pada haji dimana tahallul dilaksanakan sesudah qurban. Rambut yang sudah di potong akan dikumpulkan lalu ditimbang dan beratnya akan dikonversikan dengan emas atau pun perak. Rasulullah saw memberi perintah pada Sayyidah Fathimah agar menimbang rambut Sayyidina Husein dan juga bershadaqah emas dengan berat yang sama dengan berat rambut sekaligus memberikan hadiah khusus berupa paha atau kaki kambing ke bidan yang sudah menolong kelahiran. Melanjutkan Dengan Tahnik Sesudah memotong rambut, maka dilanjutkan lagi dengan memasukkan sesuatu yang manis ke dalam mulut bayi. Para Shahabat memiliki kebiasaan jika bayi yang baru saja lahir akan langsung dibawa ke hadapan Rasulullah saw. Beliau kemudian akan memerintahkan untuk diambilkan kurma lalu mengunyahnya sampai halus dan mengambil sedikit dari mulut-Nya lalu memberikannya ke mulut bayi dengan cara menyentuh langit-langit mulut bayi sehingga akan langsung di hisap. Ada 2 hal yang terkandung dalam hal ini yakni karbohidrat atau glukosa merupakan sumber kekuatan dari fisik serta ludah dari Rasulullah yang akan memberikan berkah. Sunnah ini lalu diteruskan oleh umat muslim yakni dengan mentahnikkan bayi pada para ulama. Pendidikan Anak Dalam Islam Bahaya Adu Domba Dalam Islam Cara Menyembelih Hewan Qurban Sesuai Syari Ucapan Selamat dalam Acara Aqiqah Dengan mengucapkan selamat pada acara aqiqah dengan kehadiran anggota baru di dalam keluarga akan membuahkan kesan yang haru dan juga mendalam untuk keluarga yang bersangkutan. Barakallahu laka fil mauhubi laka wasyakartal wahiba wabalagha asyaddahu waruziqat birrahu, yang memiliki arti: “Mudah2an Allah melimpahkan berkah, dan Anda makin mensyukuri Dzat Pemberinya. Semoga si anak ini mencapai kedewasaannya dan engkau dikaruniai baktinya”. “Barakallahu laka wabaraka alaika “atau” ajzalallahu tsawabaka” Artinya : “Semoga kalian juga diberkahi Allah. atau Semoga Allah memberimu balasan pahala yang besar”. Tata Cara Qurban Idul Adha Nama Nama Nabi dan Rasul Aqiqah merupakan bentuk dari pendekatan diri pada Allah serta bentuk ungkapan syukur karena anugerah yang sudah Allah berikan dengan kelahiran seorang anak. Aqiqah juga menjadi cara untuk menunjukkan perasaan gembira dalam melakukan syariat Islam serta menambah keturunan kaum mukmin sehingga umat Rasulullah saw bisa semakin di perbanyak sampai hari kiamat datang. Semoga bisa bermanfaat. Pengertian Aqiqah, Hukum , Waktu Pelaksanaan dan Syarat Binatang Aqiqah Dalam kehidupan masyarakat kita sering jumpai tradisi sepasaran bayi yang baru lahir . kelahiran seorang bayi adalah haparan orang tua, karena tidak jarang kita dapati dalam masyarakat sudah bertahun- sudah menikah namun belum dikarunia anak, anak adalah buah hati belahan jantung seorang orang tua, pantaslah kalau orang tua harus mensyukuri atas kelahiran bayinya. Kelahiran seorang bayi adalah perjuangan yang luar biasa bagi seoang ibu, dia berada pada posisi antara hidup dan mati, makanya disaat sang bayi lahir maka dia disambut dengan penuh haru, dengan tangis kebahagiaan pada keluarganya. Salah satu cara mensykuri atas kelahiran sang bayi adalah dengan cara mengakikahkan anaknya. Lalu apa itu aqiqah ? berikut ini kami akan menjelaskan secara rinci aqiqah tersebut. 1. Pengertian Aqiqah Kata aqiqah berasal dari bahasa arab artinya penyembelihan binatang dari kelahiran seorang anak pada hari yang ketujuh. Aqiqah juga berarti rambut yang tumbuh dikepala anak yang baru lahir. Menurut istilah Islam Aqiqah adalah menyembeli binatang ternak berkenaan dengan kelahiran anak, sebagai bukti rasa syukur kepada Allah swt., dengan syarat-syarat tertentu menurut syariat. Menurut sunnah Rasulullah saw., anak laki-laki dua ekor kambing sedangkan bayi perempuan disembelikan satu ekor kambing. عَنْ عَائشة قالَتْ : اَمَرَنَا رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْه وسلَم اَنْ نَعُقَ عَنِ الْغُللاَمِ بِشَا تِيْنِ عَنِ الْجَا رِيَةْ شَا Artinya : “ Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah telah menyuruh kita agar menyembeli aqiqah untuk seorang laki-laki dua ekor kambing dan untuk seorang anak perempuan satu ekor kambing”. 2 . Hukum Aqiqah Aqiqah menurut sebagian besar ulama hukumnya sunnah muakkad bagi orang tua yang baru melahirkan anaknya. Pada hari itu anak diberi nama yang baik dan rambut kepalanya dicukur.Rasulullah saw., bersabda : عَنْ سَمُرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْه وسلَم كُلُّ غُلَامٍ بِعَقيْقَتِهِ تُذْبَـــح يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُخْلَقُ وَيُسَمَّى  Artinya : “ Dari samura r.a., sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda, “Setiap anak yang baru lahir tergadai dan ditebus dengan aqiqah yaitu disembeli aqiqah itu untuknya pada hari ketujuh lalu dicukur dan diberi nama “. 3 Waktu Pelaksanaan Aqiqah Aqiqah adalah penymbelihan binatang berkenan dengan kelahiran anak yang disyariatkan dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran anak, Apabila hari ketujuh itu terlewatkan maka aqiqah itu dilaksanakan pada hari ke 14 (empat belas) atau pada hari ke 21 (dua puluh satu) Seperti yang dijelaskan dalam hadits . عَنْ عَبْدِ الله بُرَيْدَةِ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النّبِي صَلّى الله عَلَيْه وسلَم اَنَّهُ قَالَ اَلْعَقِيْقةُ تُذْبِحُ لِسَبْعٍ ولِعَرْ بغ وَلإِحْدَى وَعِشْرِيْنَ Artinya : “ Dari Abdullah bin Buraidah dari ayah Nabi saw., sesungguhnya Nabi telah bersabda, “Aqiqah itu disembeli pada hari ke tujuh, atau empat belas atau kedua puluh satu”. 4. Binatang Yang Diperbolehkan Untuk Aqiqah Binatang untuk aqiqah adalah dua ekor kambing bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ketentuan syarat aqiqah sama dengan ketentuan syarat-syarat binatang qurban yakni cukup umur dan terhindar dari cacat fisik. 5. Hal-hal Yang Disunahkan Waktu Pelaksanaan Aqiqah Membaca Basmalah Membaca Sholawat atas Nabi Membaca takbir Membaca Do'a بِسْمِ اللهِ اَللَهُمَّ مِنْكَ وَاِلَيْكَ عَقِيْقةُ فُلَانْ.....بِنْ فَتَقَبَّلْ مِنّيْ Disembeli sendiri oleh ayah dari anak dari yang di aqiqahinya Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin dan tetangga setelah dimasak Pada hari itu juga anak dicukur rambutnya dan diberi nama serta bersedekah seberat rambut bayi yang baru dicukur dengan nilai satu atau seperdua dirham. sebagian ulama berpendapat bahwa sedekah itu seberat timbangan rambut bayi dengan nilai harga emas, sebagaimana Rasulullah bersabda : ِArtinya " Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata, Rasulullah saw. telah mengaqiqahkan hasan dengan seekor kambing, maka Nabi bersabda, "Hai fatimah, cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan emas seberat timbangan rambutnya, kemudia Ali berkata lagi fatimah kemudian menimbangnya satu dirham atau setengah dirham". HR.At-Turmudzi. Pengertian Aqiqah, Hukum , Waktu Pelaksanaan dan Syarat Binatang Aqiqah hukum aqiqahHukum Aqiqah itu sendiri menurut kalangan imam Syafi’i dan Hambali adalah sunnah muakkadah. Dasar yang dipakai oleh kalangan imam Syafi’i dan Hambali adalah sebagai berikut: “Anak-anak itu tergadai (tertahan) dengan aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya dan diberi nama.” (HR. Al-Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Madjah, dari Hasan) Dari Ummu Kurzin Al-Ka’biyah ra. Ia berkata, Aku mendengar Rasululloh SAW berkata: “Bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang sama, sedangkan bagi anak perempuan satu ekor kambing.” (HR. Al-Tirmidzi dan Ahmad). HUKUM DAN KETENTUAN PELAKSANAAN AQIQAH Hukum Dan Tuntunan Pelaksanaan Aqiqah ‘Aqiqah merupakan salah satu hal yang disyariatkan dalam agama islam. Dalil-dalil yang menyatakan hal ini, di antaranya, adalah Hadits Rasulullah saw, “Setiap anak tertuntut dengan ‘Aqiqah-nya’?. Ada Hadits lain yang menyatakan, “Anak laki-laki (‘Aqiqah-nya dengan 2 kambing) sedang anak perempuan (‘Aqiqah-nya) dengan 1 ekor kambing’?. Status hukum ‘Aqiqah adalah sunnah. Hal tersebut sesuai dengan pandangan mayoritas ulama, seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Malik, dengan berdasarkan dalil di atas.Paraulama itu tidak sependapat dengan yang mengatakan wajib, dengan menyatakan bahwa seandainya ‘Aqiqah wajib, maka kewajiban tersebut menjadi suatu hal yang sangat diketahui oleh agama. Dan seandainya ‘Aqiqah wajib, maka Rasulullah saw juga pasti telah menerangkan akan kewajiban tersebut. Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Laits, berpendapat bahwa hukum ‘Aqiqah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan atas salah satu Hadits di atas, “Kullu ghulamin murtahanun bi ‘aqiqatihi’ artinya (setiap anak tertuntut dengan ‘Aqiqah-nya), mereka berpendapat bahwa Hadits ini menunjukkan dalil wajibnya ‘Aqiqah dan menafsirkan Hadits ini bahwa seorang anak tertahan syafaatnya bagi orang tuanya hingga ia di-’Aqiqah-i. Adajuga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya ‘Aqiqah, tetapi pendapat ini tidak berdasar sama sekali. Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa ‘Aqiqah adalah sunnah. Bagi seorang ayah yang mampu hendaknya menghidupkan sunnah ini hingga ia mendapat pahala. Dengan syariat ini, ia dapat berpartisipasi dalam menyebarkan rasa cinta di masyarakat dengan mengundang para tetangga dalam walimah ‘Aqiqah tersebut. Mengenai kapan ‘Aqiqah dilaksanakan, Rasulullah saw bersabda, “Seorang anak tertahan hingga ia di-’Aqiqah-i, (yaitu) yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan diberi nama pada waktu itu’?. Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa ‘Aqiqah mendapatkan kesunnahan jika disembelih pada hari ketujuh. Sayyidah Aisyah ra dan Imam Ahmad berpendapat bahwa ‘Aqiqah bisa disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas ataupun hari keduapuluh satu. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sembelihan ‘Aqiqah pada hari ketujuh hanya sekedar sunnah, jika ‘Aqiqah disembelih pada hari keempat, atau kedelapan ataupun kesepuluh ataupun sesudahnya maka hal itu dibolehkan. Menurut hemat penulis, jika seorang ayah mampu untuk menyembelih ‘Aqiqah pada hari ketujuh, maka sebaiknya ia menyembelihnya pada hari tersebut. Namun, jika ia tidak mampu pada hari tersebut, maka boleh baginya untuk menyembelihnya pada waktu kapan saja. ‘Aqiqah anak laki-laki berbeda dengan ‘Aqiqah anak perempuan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sesuai Hadits yang telah kami sampaikan di atas. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa ‘Aqiqah anak laki-laki sama dengan ‘Aqiqah anak perempuan, yaitu sama-sama 1 ekor kambing. Pendapat ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw meng-’Aqiqah- i Sayyidina Hasan dengan 1 ekor kambing, dan Sayyidina Husein ‘“keduanya adalah cucu beliau saw’” dengan 1 ekor kambing. Bisa kita simpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2 ekor kambing bagi ‘Aqiqah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk ‘Aqiqah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala. Wallahu A’lam. Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa agama Islam membedakan antara ‘Aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan, maka bisa kita jawab, bahwa seorang muslim, ia berserah diri sepenuhnya pada perintah Allah swt, meskipun ia tidak tahu hikmah akan perintah tersebut, karena akal manusia terbatas. Barangkali juga kita bisa mengambil hikmahnya yaitu untuk memperlihatkan kelebihan seorang laki-laki dari segi kekuatan jasmani, juga dari segi kepemimpinannya (qawwamah) dalam suatu rumah tangga. Wallahu A’lam. Dalam penyembelihan ‘Aqiqah, banyak hal yang perlu diperhatikan, di antaranya, sebaiknya tidak mematahkan tulang dari sembelihan ‘Aqiqah tersebut, dengan hikmah tafa’™ul (berharap) akan keselamatan tubuh dan anggota badan anak tersebut. ‘Aqiqah sah jika memenuhi syarat seperti syarat hewan Qurban, yaitu tidak cacat dan memasuki usia yang telah disyaratkan oleh agama Islam. Seperti dalam definisi tersebut di atas, bahwa ‘Aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh semenjak kelahiran seorang anak, sebagai rasa syukur kepada Allah. Tetapi boleh juga mengganti kambing dengan unta ataupun sapi dengan syarat unta atau sapi tersebut hanya untuk satu anak saja, tidak seperti kurban yang mana dibolehkan untuk 7 orang. Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Aqiqah hanya boleh dengan menggunakan kambing saja, sesuai dalil-dalil yang datang dari Rasulullah saw. Adaperbedaan lain antara ‘Aqiqah dengan Qurban, kalau daging Qurban dibagi-bagikan dalam keadaan mentah, sedangkan ‘Aqiqah dibagi-bagikan dalam keadaan matang. Kita dapat mengambil hikmah syariat ‘Aqiqah. Yakni, dengan ‘Aqiqah, timbullah rasa kasih sayang di masyarakat karena mereka berkumpul dalam satu walimah sebagai tanda rasa syukur kepada Allah swt. Dengan ‘Aqiqah pula, berarti bebaslah tali belenggu yang menghalangi seorang anak untuk memberikan syafaat pada orang tuanya. Dan lebih dari itu semua, bahwasanya ‘Aqiqah adalah menjalankan syiar Islam. Ketika menyembelih diniatkan untuk meng-aqiqahi bayi tadi dengan menyebutkan namanya dan nama bapaknya. Bumbu masakannya lebih dimaniskan, tujuannya agar akhlaknya nantipun juga manis, disamping memang kesukaan Rasulullah adalah masakan manis dan madu. Cukur Rambut, Pemberian Nama, Tahnik Setelah Aqiqah Urutannya adalah aqiqah, kemudian cukur rambut, dan memberi nama. Boleh saja dinamai pada hari pertama, bila tidak berniat aqiqah.(baca juga Ajaran Islam Menyambut Kelahiran Bayi). Bila diadakan aqiqah, maka nama diberika dan disebutkan pada saat acara tersebut diselenggarakan. Nama yang akan diberikan diusahakan sebagus mungkin. Rasulullah SAW bersabda, “nanti pada saat qiamat, kalian akan dipanggil sesuai nama kalian dan bapak kalian, karena itu baguskanlah namamu”. Pencukuran rambut dilakukan setelah pemotongan kambing, sebagaimana pada haji, tahallul dilakukan setelah qurban. Rambut yang dipotong tadi dikumpulkan, ditimbang, dan beratnya dikonversikan ke emas atau perak. Rasulullah SAW memerintahkan Sayyidah Fathimah untuk menimbang rambut Sayyidina Husein dan bershadaqah emas seberat rambut itu. Juga memberikan hadiah khusus (paha/kaki kambing) ke bidan yang menolong kelahirannya. Setelah itu dilanjutkan dengan tahnik yaitu memasukkan sesuatu yang manis ke mulut bayi.. Para shahabat punya kebiasaan, bila bayinya telah lahir, mereka langsung membawanya ke hadapan Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau menyuruh untuk mengambil kurma, kemudian mengunyahnya, hingga halus, lalu mengambilnya sedikit (dari dalam mulut beliau), dan menyuapkannya ke mulut bayi, dengan cara menyentuhkannya di langit-langit mulut bayi yang akan “otomatis” menghisapnya. Di sini akan masuk 2 hal, yakni glukosa (karbohidrat) untuk kekuatan fisik dan ludah Rasulullah SAW yang membawa berkah. Sunnah ini dilanjutkan oleh ummat Islam, dengan mentahnikkan bayinya kepada para ulama, dengan sabda Nabi “Al-Ulamau waratsatul Ambiya’”, ulama itu pewaris para Nabi. Bila tak ditemui ulama (kaum shalihin) laki-laki maka perempuanpun tidak ada masalah. Ucapan Selamat Pada Acara Aqiqah Pernyataan ikut berbahagia atas kehadiran anggota baru dalam keluarga dapat memberikan kesan haru dan mendalam pada keluarga yang baru mendapat momongan tersebut. Pernyataan tersebut bisa berupa hadiah, tulisan atau ucapan selamat dari sanak saudara, kerabat dekat, para tetangga, teman-teman dan tamu yang hadir pada acara aqiqah. Berikut ucapan selamat untuk keluarga yang baru melahirkan atau pada saat menghadiri acara kekahan/aqiqah.

Tatacara Aqiqah

  TATA CARA AQIQAH MENURUT IMAM SYAFI'I

Aqiqah | Fiqh Imam Syafi'i
Aqiqah berasal dari kata 'Aqq yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga bahwa ia adalah rambut yang dibawa si bayi ketika lahir. Adapun maknanya secara syari'at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan. Hukum aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunnah muakkadah, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, berdasarkan anjuran Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan praktek langsung beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam. "Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus)darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya)." (HR: Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan) Perkataannya Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: "maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan)," adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: "Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan." (HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan). Perkataan beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: "ingin menyembelihkan,.." merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah. Hikmah Aqiqah Aqiqah Menurut Syaikh Abdullah nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam sebagaimana dilansir di sebuah situs memiliki beberapa hikmah diantaranya : 1. Menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu alahi wa sallam dalam meneladani Nabiyyullah Ibrahim alaihissalam tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala menebus putra Ibrahim yang tercinta Ismail alaihissalam. 2. Dalam aqiqah ini mengandung unsur perlindungan dari syaitan yang dapat mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna hadits, yang artinya: "Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya." . Sehingga Anak yang telah ditunaikan aqiqahnya insya Allah lebih terlindung dari gangguan syaithan yang sering mengganggu anak-anak. Hal inilah yang dimaksud oleh Al Imam Ibunu Al Qayyim Al Jauziyah "bahwa lepasnya dia dari syaithan tergadai oleh aqiqahnya". 3. Aqiqah merupakan tebusan hutang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari perhitungan. Sebagaimana Imam Ahmad mengatakan: "Dia tergadai dari memberikan Syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan aqiqahnya)". 4. Merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lahirnya sang anak. 5. Aqiqah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syari'at Islam & bertambahnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah SAW pada hari kiamat. 6. Aqiqah memperkuat ukhuwah (persaudaraan) diantara masyarakat. Dan masih banyak lagi hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan Syariat Aqiqah ini. Hewan Sembelihannya Hewan yang dibolehkan disembelih untuk aqiqah adalah sama seperti hewan yang dibolehkan disembelih untuk kurban, dari sisi usia dan kriteria. Imam Malik berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah (kurban), tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit. Imam Asy-Syafi'iy berkata: Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban. Ibnu Abdul Barr berkata: Para ulama telah ijma bahwa di dalam aqiqah ini tidak diperbolehkan apa yang tidak diperbolehkan di dalam udhhiyah, (harus) dari Al Azwaj Ats Tsamaniyyah (kambing, domba, sapi dan unta), kecuali pendapat yang ganjil yang tidak dianggap. Namun di dalam aqiqah tidak diperbolehkan berserikat (patungan, urunan) sebagaimana dalam udhhiyah, baik kambing/domba, atau sapi atau unta. Sehingga bila seseorang aqiqah dengan sapi atau unta, itu hanya cukup bagi satu orang saja, tidak boleh bagi tujuh orang. Kadar Jumlah Hewan Bayi laki-laki disunnahkan untuk disembelihkan dua ekor kambing dan bayi wanita cukup satu ekor kambing saja. Ummu Kurz Al Ka'biyyah berkata, yang artinya: "Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan agar dsembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor." (Hadits sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan) Dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata, yang artinya: "Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor." (Shahih riwayat At Tirmidzi) Namun bila tidak memungkinkan, maka boleh saja dan sudah cukup satu ekor untuk bayi laki-laki, karena Rasulullah SAW pun hanya menyembelih satu ekor untuk cucunya Hasan dan Husein. "Adalah Rasulullah SAW menyembelih hewan aqiqah untuk Hasan dan Husein masing-masing satu ekor kambing ?". (HR Ashabus Sunan) Aqiqah haruskah hewan jantan? Baik dalam aqiqah maupun udhiyah (kurban) tidak ada persyaratan bahwa hewannya harus jantan atau betina. Keduanya bisa dijadikan sebagai hewan aqiqah atau kurban. Akan tetapi yang lebih diutamakan adalah hewan jantan agar kelangsungan reproduksi hewan tersebut tetap terjaga. Waktu Pelaksanaannya Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: "Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama." (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi) Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau berkata yang artinya: "Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh satu." (Hadits hasan riwayat Al Baihaqiy) Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib. Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh. Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya. Aqiqah adalah syari'at yang ditekan kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan hewan aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih aqiqah dari dirinya sendiri. Namun demikian, jika ternyata ketika kecil ia belum diaqiqahi, ia bisa melakukan aqiqah sendiri di saat dewasa. Satu ketika al-Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, "ada orang yang belum diaqiqahi apakah ketika besar ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri?" Imam Ahmad menjawab, "Menurutku, jika ia belum diaqiqahi ketika kecil, maka lebih baik melakukannya sendiri saat dewasa. Aku tidak menganggapnya makruh". Para pengikut Imam Syafi'i juga berpendapat demikian. Menurut mereka, anak-anak yang sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, dianjurkan baginya untuk melakukan aqiqah sendiri. Pembagian daging Aqiqah Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya, dan mensedekahkan sebagian lagi. Dan tidak apa-apa dia mensedekahkan darinya dan mengumpulkan kerabat dan tetangga untuk menyantap makanan daging aqiqah yang sudah matang. Ulama berkata: Sunnahnya dia memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya. Hukum memakan daging aqiqah Daging selain disedekahkan juga bisa dimakan oleh keluarga yang melakukan aqiqah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra., "Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh". (HR al-Bayhaqi). Wallahu a'lam bish-shawab. Perihal Ibnu MajjahPenuntut Ilmu, [Insya Allah] bermanhaj Ahlussunnah Pengantar: Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad ??? ???? ???? ????, keluarga dan sahabatnya Alhamdulillah kita bertahmid memuji Allah, diantara syiar Agama Islam yang masih banyak dilakukan oleh manusia adalah Aqiqah dalam menyambut kelahiran bayi, walau tidak dipungkiri acara aqiqah kadang dibumbui oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Untuk itu kami posting e-book ini yang didalamnya penulis membahas tentang hukum-hukum seputar aqiqah mulai dari pengertian aqiqah hingga seluk beluk tentang kambing aqiqah dan diakhiri dengan adab menghadiri jamuan aqiqah, semoga e-book ini bermanfaat bagi kita semua. Tuntunan BerQurban Asal, Hikmah dan Hukum Syariat Kurban 8ikmah disyari6atkan qurban ialah sebagai tanda bersyukur kepada Allah subhanahu wata6ala di atas segala nikmatNya yang berbagai dan ?uga di atas kekalnya manusia dari tahun ke tahun. %a ?uga bertu?uan men?adi kifarah bagi pelakunya, sama ada disebabkan kesilapan*kesilapan yang telah dilakukan ataupun dengan sebab keOuaiannya dalam menunaikan kewa?ipan di samping memberikan kelegaan kepada keluarga orang yang berqurban dan ?uga mereka yang lain. 0urban tidak memadai dengan menghulurkan nilai harganya, berbe dengan ibadah Jakat fitrah yang bermaksud memenuhi keperluan golongan fakir, %mam Ahmad dikatakan menyebut amalan menyembelih qurban adalah lebih afdhal daripada bersedekah dengan nilai harganya. ?edangkan Aqiqah merupakan salah satu a?aran islam yang di Oontohkan rasulullah SW. Aqiqah mengandung hikmah dan manfaat positif yang bisa kita petik di dalamnya. ?i laksanakan pada hari ke tu?uh dalam kelahiran seorang bayi. ?an Aqiqah hukumnya sunnah muakad (mendekati wa?ib), bahkan sebagian ulama menyatakan wa?ib. ?etiap orang tua mendambahkan anak yang shaleh, berbakti dan mengalirkan kebahagiaan kepada kedua orangnya. Aqiqah adalah salah satu aOara penting untuk menanamkan nilai*nilai ruhaniah kepada anak yang masih NYusu. ?engan aqiqah di harapkan sang bayi memperoleh kekuatan, kesehatan lahir dan batin. ?i tumbuhkan dan di kembangkan lahir dan batinnya dengan nilai*nilai ilahiyah. Aqiqah ?uga salah satu upaya kita untuk menebus anak kita yang tergadai. Aqiqah ?uga merupakan realisasi rasa syukur kita atas anugerah, sekaligus amanahyang di berikan allah ?PL terhadap kita. Aqiqah ?uga sebagai upaya kita menghidupkan sunnah rasul ?AP, yang merupakan perbuatan yang terpu?i, mengingat saat ini sunnah tersebut mulai ?arang di laksanakan oleh kaum muslimin Ahkamul Aqiqah | Tata Cara Aqiqah Syarat Aqiqah Cara Aqiqah Cara Aqiqah Sesuai Sunnah Rukun Aqiqah Syariat Aqiqah A. PENGERTIAN AQIQAH Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.25-26, mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.” Imam Ahmad rahimahullah dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih (An-Nasikah). B. DALIL-DALIL SYAR’I TENTANG AQIQAH Hadist No.1 : Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani] Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, pent] Hadist No.2 : Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya] Hadist No.3 : Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan] Hadist No.4 : Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied] Hadist No.5 : Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)] Hadist No.6 : Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil] Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih. C. HUKUM-HUKUM SEPUTAR AQIQAH HUKUM AQIQAH SUNNAH Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahullah berkata dalam Nailul Authar (6/213) : “Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi : “….berdasarkan hadist no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.” BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI DAN MEMBID’AHKAN AQIQAH Ibnul Mundzir rahimahullah membantah mereka dengan mengatakan bahwa : “Orang-orang ‘Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam “Fathul Bari” (9/588)]. WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594) : “Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’ (hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.” Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” 7/527. Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah : “Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj] BERSEDEKAH DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.” Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif. TIDAK ADA TUNTUNAN BAGI ORANG DEWASA UNTUK AQIQAH ATAS NAMA DIRINYA SENDIRI Sebagian ulama mengatakan : “Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa”. Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.” [Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas] Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya pada satu waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil. AQIQAH UNTUK ANAK LAKI-LAKI DUA KAMBING DAN PEREMPUAN SATU KAMBING Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. “Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Bari” (9/592) : “Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.” Imam Ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1427) mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya : “Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.” Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalam kitabnya “Raudhatun Nadiyyah” (2/26) berkata : “Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan adalah satu kambing.” Penulis berkata : “Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing) tidak diragukan lagi kebenarannya.” BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas. Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/592) : “…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing….” Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki dengan dua kambing. D. AQIQAH DENGAN KAMBING TIDAK SAH AQIQAH KECUALI DENGAN KAMBING Telah lewat beberapa hadist yang menerangkan keharusan menyembelih dua ekor kambing untuk laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan. Ini menandakan keharusan untuk aqiqah dengan kambing. Dalam “Fathul Bari” (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan : “Para ulama mengambil dalil dari penyebutan syaatun dan kabsyun (kibas, anak domba yang telah muncul gigi gerahamnya) untuk menentukan kambing buat aqiqah.” Menurut beliau : “Tidak sah aqiqah seseorang yang menyembelih selain kambing”. Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini lemah karena : 1. Hadist-hadist shahih yang menunjukkan keharusan aqiqah dengan kambing semuanya shahih, sebagaimana pembahasan sebelumnya. 2. Hadist-hadist yang mendukung pendapat dibolehkannya aqiqah dengan selain kambing adalah hadist yang talif saqith alias dha’if. PERSYARATAN KAMBING AQIQAH TIDAK SAMA DENGAN KAMBING KURBAN [IDUL ADHA] Penulis mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan’ani, Imam Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai umur tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang lebih utama adalah yang tidak cacat. Imam As-Shan’ani dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1428) berkata : “Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas.” Imam Syaukhani dalam kitabnya “Nailul Authar” (6/220) berkata : “Sudah jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga ini merupakan qiyas yang bathil.” Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” (7/523) berkata : “Orang yang melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari catat.” BACAAN KETIKA MENYEMBELIH KAMBING Firman Allah Ta’ala : “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah…” [Al-Maidah 4] Firman Allah Ta’ala : “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan.” [Al-An’am : 121] Adapun petunjuk Nabi tentang tasmiyah (membaca bismillah) sedah masyhur dan telah kita ketahui bersama (lihat Irwaul Ghalil 2529-2536-2545-2551, karya Syaikh Al-Albani). Oleh karena itu, doa tersebut juga diucapkan ketika meyembelih hewan untuk aqiqah karena merupakan salah satu jenis kurban yang disyariatkan oleh Islam. Maka orang yang menyembelih itu biasa mengucapkan : “Bismillahi wa Allahu Akbar”. MENGUSAP DARAH SEMBELIHAN AQIQAH DI ATAS KEPALA BAYI MERUPAKAN PERBUATAN BID’AH DAN JAHILIYAH “Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda : “Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).” [Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan disahihkan oleh Hakim (2/438)] Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya “Irwaul Ghalil” (4/388) berkata : “Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.” Al-‘Allamah Imam Syukhani dala, kitabnya “Nailul Aithar” (6/214) menyatakan : “Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah)..” Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas bahwasannya dia berkata : “Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah terhadap anak kecil….dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah.” [Hadits Riwayat Thabrani], maka ini merupakan hujjah yang dhaif dan mungkar. BOLEH MENGHANCURKAN TULANGNYA [DAGING SEMBELIHAN AQIQAH] SEBAGAIMANA SEMBELIHAN LAINNYA Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya, seperti ditegaskan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (2/502), karena tidak adanya dalil yang melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang menghancurkan tulang sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada kebaikannya juga, yaitu bisa diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk dimakan. Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya adalah: 1. Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian menghancurkan tulang sembelihannya.” [Hadist Dhaif, karena mursal terputus sanadnya, Hadits Riwayat Baihaqi (9/304)] 2. Dari Aisyah dia berkata : “….termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan tulang sembelihannya….” [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, Hadits Riwayat. Hakim (4/283] Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak shahih. [lihat kitab “Al-Muhalla” oleh Ibnu Hazm (7/528-529)]. DISUNNAHKAN MEMASAK DAGING SEMBELIHAN AQIQAH DAN TIDAK MEMBERIKANNYA DALAM KEADAAN MENTAH Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.43-44, berkata : “Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.” TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG KALAU DAGING SEMBELIHANNYA DIJUAL Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.51-52, berkata : “Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa menjual daging sembelihannya sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja tidak melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas dasar itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara penuh sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu digunakan untuk upah penyembelihannya atau upah mengulitinya” [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik]. ORANG YANG AQIQAH BOLEH MEMAKAN, BERSEDEKAH, MEMBERI MAKAN, DAN MENGHADIAHKAN DAGING SEMBELIHANNYA, TETAPI YANG LEBIH UTAMA JIKA SEMUA DIAMALKAN Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.48-49, berkata : “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hukum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah Ta’ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik]. JIKA AQIQAH BERTETAPAN DENGAN IDUL QURBAN, MAKA TIDAK SAH KALAU MENGERJAKAN SALAH SATUNYA [SATU AMALAN DUA NIAT] Penulis berkata : “Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak sah menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan. Sebab aqiqah dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan Allah Ta’ala tidak pernah lupa.” TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG YANG BERSEDEKAH DENGAN HARGA DAGING SEMBELIHANNYA SEKALIPUN LEBIH BANYAK Al-Khallah pernah berkata dalam kitabnya : “Bab Maa yustahabbu minal aqiqah wa fadhliha ‘ala ash-shadaqah” : “ Kami diberitahu Sulaiman bin Asy’ats, dia berkata Saya mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang aqiqah : “Mana yang kamu senangi, daging aqiqahnya atau memberikan harganya kepada orang lain (yakni aqiqah kambing diganti dengan uang yang disedekahkan seharga dagingnya) ? Beliau menjawab : “Daging aqiqahnya.” [Dinukil dari Ibnul Qayyim dalam “Tuhfathul Maudud” hal.35 dari Al-Khallal] Penulis berkata : “Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya bershadaqah dengan harga (daging sembelihan aqiqah) sekalipun lebih banyak, maka aqiqah seseorang tidak sah jika bershadaqah dengan harganya dan ini termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar ! Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad .” ADAB MENGHADIRI JAMUAN AQIQAH Diantara bid’ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu adalah memberikan ceramah yang berkaitan dengan hukum aqiqah dan adab-adabnya serta yang berkaitan dengan masalah kelahiran ketika berkumpulnya orang banyak (undangan) di acara aqiqahan pada hari ketujuh. Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat suatu acara yang berisi ceramah, rangkaian do’a-do’a, dan bentuk-bentuk seperti ibadah lainnya, yang mereka meyakini bahwa semuanya termasuk dari amalan yang baik, padahal tidak lain hal itu adalah bid’ah, pent. Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang shahih bahkan dalam dhaif sekalipun !! Dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Salafush Shalih rahimahumullah. Seandainya perbuatan ini baik niscaya mereka sudah terlebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Dan ini termasuk dalam hal bid’ah-bid’ah lainnya yang sering dikerjakan oleh sebagian masyarakat kita dan telah masuk sampai ke depan pintu rumah-rumah kita, pent !! Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di dalam acara aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta menyambut kelahiran bayi dan bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang dibuat-buat. Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Semua kabaikan itu adalah dengan mengikuti Salaf dan semua kejelekan ada pada bid’ahnya Khalaf. Wallahul Musta’an wa alaihi at-tiklaan. [Disalin dan diringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul “Aqiqah” terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997] Aqiqah Dalil Aqiqah Hadits Tentang Aqiqah Pembagian Daging Aqiqah Tata Cara Aqiqoh

Makna Aqiqah

  MEMAHAMI MAKNA AQIQAH DALAM ISLAM
Hadits Shahih tentang Aqiqah dan Penjelasannya dalam Bahasa Arab Hadits Shahih tentang Aqiqah dan Penjelasannya dalam Bahasa Arab menjadi penting untuk dirujuk bagi muslimin dan muslimat. Hal tersebut dikarenakan Al Qur’an dan Hadits dituliskan dan dilafazkan secara asli dan otentik dalam bahasa Arab. Mengenai hal ini Alloh juga berfirman secara khusus dalam Al Qur’an bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Yuk kita simak Hadits Shahih tentang Aqiqah. Hadits Shahih tentang Aqiqah Hadits tentang Sejarah Aqiqah كُنَّا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا وُلِدَ ِلاَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَ لَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِاْلاِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَ نَحْلِقُ رَأْسَهُ وَ نَلْطَخُهُ بزَعْفَرَانٍ. ابو داود Buraidah berkata : Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107, no. 2843] عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانُوْا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا عَقُّوْا عَنِ الصَّبِيّ خَضَبُوْا قُطْنَةً بِدَمِ اْلعَقِيْقَةِ. فَاِذَا حَلَقُوْا رَأْسَ الصَّبِيّ وَضَعُوْهَا عَلَى رَأْسِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اِجْعَلُوْا مَكَانَ الدَّمِ خَلُوْقًا. ابن حبان Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi“. [HR. Ibnu Hibban juz 12, hal. 124, no. 5308] Anda dapat membaca sejarah aqiqah lebih lengkap pada artikel yang telah kami tulis sebelumnya. Kami telah jelaskan sejarah awal mula aqiqah sejak zaman jahiliyah (pra Islam) dan ketika pada zaman Nabi Muhammad. Hadits Shahih tentang Aqiqah yang Menjadi Dalil Pelaksanaan Aqiqah Aqiqah dianjurkan untuk dilaksanakan pada hari ke-7 (tujuh) dengan ketentuan jumlah kambing untuk bayi laki-laki adalah 2 ekor dan untuk bayi perempuan 1 ekor. Selain itu si bayi juga perlu diberi nama dan dicukur rambutnya pada saat aqiqah dilaksanakan. Berikut adalah beberapa hadits yang menjadi dasar pelaksanaan aqiqah: عَنْ يُوْسُفَ بْنِ مَاهَكٍ اَنَّهُمْ دَخَلُوْا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمنِ فَسَأَلُوْهَا عَنِ اْلعَقِيْقَةِ، فَاَخْبَرَتْهُمْ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. الترمذي Dari Yusuf bin Mahak bahwasanya orang-orang datang kepada Hafshah binti ‘Abdur Rahman, mereka menanyakan kepadanya tentang ‘aqiqah. Maka Hafshah memberitahukan kepada mereka bahwasanya ‘Aisyah memberitahu kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih ‘aqiqah) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35, no. 1549]. عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى. البخارى 6: 217 Dari Salman bin ‘Amir Adl-Dlabiy, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang ‘aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya)“. [HR. Bukhari juz 6, hal. 217] عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. احمد 2: 604، رقم: 2725 Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berkehendak untuk meng’aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan satu ekor kambing“. [HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725] عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَ سَمَّاهُمَا وَ اَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى. الحاكم فى المستدرك 4: 264، رقم: 7588 Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)“. [HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588] Keterangan : Hasan dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW. عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى. ابو داود 3: 106، رقم: 2838 Dari Samurah bin Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak tergadai (tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama“. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106, no. 2838] عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَ يُحْلَقُ رَأْسُهُ وَ يُسَمَّى. ابن ماجه 2: 1056، رقم: 3165 Dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165] كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّيكُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تَذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” [HR Abu awud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165 dll dari sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, Syaikh al-Albani dan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab al-Insyirah Fi Adabin Nikah hlm. 97] Itulah beberapa Hadits Shahih tentang Aqiqah yang menjadi dasar pelaksanaan aqiqah. Kemudian kami menemukan artikel menarik tentang penjelasan makna kata tergadai dalam hadits. Berikut adalah penjelasannya. Penjelasan mengenai kata tergadai dalam Hadits Apakah makna kata tergadai tersebut adalah sang anak tidak dapat memberikan syafaat untuk kedua orang tuanya? Berikut adalah penjelasannya seperti dikutip dari almanhaj.or.id: Al-Khaththabi rahimahullah berkata : “(Imam) Ahmad berkata, Ini mengenai syafaat. Beliau menghendaki bahwa jika si anak tidak diaqiqahi, lalu anak itu meninggal waktu kecil, dia tidak bisa memberikan syafa’at bagi kedua orang tuanya” [Ma’alimus Sunan 4/264-265, Syarhus Sunnah 11/268] Sepengetahuan almanhaj.or.id tidak ada hadits yang menafsirkannya dengan ‘tidak mendapatkan syafa’at’, oleh karena itu para ulama berbeda pendapat tentang maknanya. Tampaknya, itu bukan ijtihad Imam Ahmad rahimahullah, akan tetapi beliau mengambil dari penjelasan Ulama sebelumnya. Karena makna ini juga merupakan penjelasan Imam Atha al-Khurasani, seorang Ulama besar dari generasi Tabi’in. Imam al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Hamzah yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Atha al-Khurasani, apakah makna ‘tergadai dengan aqiqahnya“, beliau menjawab, “Terhalangi syafa’at anaknya”. [Sunan al-Kubro 9/299] Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa makna tersebut tidak tepat. Beliau berkata, “Makna tertahan/tergadai (dalam hadits aqiqah) ini masih diperselisihkan. Sejumlah orang mengatakan, maknanya tertahan/tergadai dari syafa’at untuk kedua orag tuanya. Hal itu dikatakan oleh Atha dan diikuti oleh Imam Ahmad. Pendapat tersebut perlu dikoreksi, karena syafa’at anak untuk bapak tidak lebih utama dari sebaliknya. Sedangkan keadaannya sebagai bapak tidaklah berhak memberikan syafa’at untuk anak, demikian juga semua kerabat. Berdasarkan beberapa riwayat hadits shahih di atas, maka menjadi jelas bahwa aqiqah itu hukumnya Sunnah. Sunnah memiliki makna kalau dilaksanakan mendapatkan pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa. Mengenai hadits yang menyebutkan bahwa pelaksanaan aqiqah itu pada hari ke-14 (empat belas) atau hari ke-21 (duapuluh satu), haditsnya sebagai berikut : قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـعَـقِـيْقَتةُ تُـذْبَحُ لِسَـبْعٍ وَلِأَرْبَعَ عَشَرَةَ وَلِإِحْدَى وَعِشْرِيْنَ Kata Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda, “Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas , atau keduapuluh satunya. (HR. Baihaqi dan Thabrani) Menurut para ahli peneliti hadits, dalam riwayat Baihaqi dan Thabrani ini ada seorang perawi bernama Ismail bin Muslim yang dinilai lemah oleh imam Ahmad, Abu Zar’ah, dan Nasa’i. Sehingga hadits ini termasuk Dha’if dan tidak dapat menjadi hujjah yang kuat. Kami juga telah menyebutkan hal ini dalam tulisan kami tentang pengertian aqiqah. Semoga penjelasan ringkas mengenai Hadits Shahih tentang Aqiqah dapat bermanfaat buat anda. Terakhir diperbarui pada Jan 16, 2018 @ 9:38 pm Hadits Shahih tentang Aqiqah dan Penjelasannya dalam Bahasa Arab Maksud Anak Tergadai Dalam Hadits Aqiqah ? Hadis Tentang Aqiqah Hadist Aqiqoh Hadits Aqiqah Shahih Dalil Aqiqah Dalam Al Quran Firman Allah Tentang Aqiqah MAKSUD ANAK TERGADAI DALAM HADITS AQIQAH ? Pertanyaan Ada yang mengatakan bahwa Imam Ahmad memaknai hadits “setiap anak tergadai dengan aqiqah”, tidak dapat memberikan syafa’at. Apakah benar nukilan ini dari beliau? Kalau benar, apakah pengertiannya? Apakah ada hadits yang menafsirkan dengan pengertian itu atau itu hanya ijtihad dari Imam Ahmad semata? Jawaban Hadits yang dimaksud adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّيكُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تَذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” [HR Abu awud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165 dll dari sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, Syaikh al-Albani dan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab al-Insyirah Fi Adabin Nikah hlm. 97] Pertanyaan-pertanyaan saudara akan kami jawab sebagai brikut : a). Memang benar ada nukilan tersebut. Al-Khaththabi rahimahullah berkata : “(Imam) Ahmad berkata, Ini mengenai syafaat. Beliau menghendaki bahwa jika si anak tidak diaqiqahi, lalu anak itu meninggal waktu kecil, dia tidak bisa memberikan syafa’at bagi kedua orang tuanya” [Ma’alimus Sunan 4/264-265, Syarhus Sunnah 11/268] b). Sepengetahuan kami tidak ada hadits yang menafsirkannya dengan ‘tidak mendapatkan syafa’at’, oleh karena itu para ulama berbeda pendapat tentang maknanya. c). Tampaknya, itu bukan ijtihad Imam Ahmad rahimahullah, akan tetapi beliau mengambil dari penjelasan Ulama sebelumnya. Karena makna ini juga merupakan penjelasan Imam Atha al-Khurasani, seorang Ulama besar dari generasi Tabi’in. Imam al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Hamzah yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Atha al-Khurasani, apakah makna ‘tergadai dengan aqiqahnya’, beliau menjawab, ‘Terhalangi syafa’at anaknya’. [Sunan al-Kubro 9/299] d). Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa makna tersebut tidak tepat. Beliau berkata, “Makna tertahan/tergadai (dalam hadits aqiqah) ini masih diperselisihkan. Sejumlah orang mengatakan, maknanya tertahan/tergadai dari syafa’at untuk kedua orag tuanya. Hal itu dikatakan oleh Atha dan diikuti oleh Imam Ahmad. Pendapat tersebut perlu dikoreksi, karena syafa’at anak untuk bapak tidak lebih utama dari sebaliknya. Sedangkan keadaannya sebagai bapak tidaklah berhak memberikan syafa’at untuk anak, demikian juga semua kerabat. Allah Azza wa Jalla berfirman. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. [Luqman/31 : 33] Allah Azza wa Jalla juga berfirman. وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at. [al-Baqarah/2 : 48] Allah Azza wa Jalla berfirman. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. [al-Baqarah/2 : 254] Maka pada hari Kiamat, siapa saja tidak bisa memberikan syafa’at kepada seorangpun kecuali setelah Allah Azza wa Jalla memberikan izin bagi orang yang dikehendaki dan diridhai oleh-Nya. Dan izin Allah Azza wa Jalla itu tergantung kepada amalan orang yang dimintakan syafa’at, yaitu amalan tauhidnya dan keikhlasannya. Juga (tergantung) kepada kedekatan dan kedudukan pemohon syafa’at di sisi Allah Azza wa Jalla. Syafa’at tidak diperoleh dengan sebab kekerabatan, keadaan sebagai anak dan bapak. Penghulu seluruh pemohon syafa’at dan orang yang paling terkemuka di hadapan Allah Azza wa Jalla (yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah berkata kepada paman, bibi, dan putrinya : لاَأُغْنِي عَنْكُم مِنْ اللَّهِ شَيْئًا Aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap kamu sedikit pun Di dalam riwayat lain. لاَأمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا Aku tidak menguasai kebaikan sedikitpun dari Allah untuk kamu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata dalam syafa’at yang paling besar ketika beliau bersujud di hadapan Rabbnya dan memohonkan syafa’at : ‘Kemudian Allah menetapkan batas untukku, lalu aku memasukkan mereka ke dalam surga’. Atas dasar itu, syafa’at beliau hanya dalam batas orang-orang yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan syafa’at beliau tidak untuk selain mereka yang telah ditentukan. Maka bagaimana dikatakan bahwa anak akan memohonkan syafa’at untuk bapaknya, namun jika bapaknya tidak melakukan aqiqahnya, maka anak itu ditahan dari memohonkan syafa’at untuk bapaknya? Demikian juga orang yang memohonkan syafa’at untuk orang lain tidak disebut ‘tergadai’, lafazh itu itu tidak menunjukkan demikian. Sedangkan Allah Azza wa Jalla telah memberitakan bahwa seorang hamba itu tergadai dengan usahanya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla. كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. [al-Muddatsir/74 : 38] Allah Azza wa Jalla berfirman. أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka disebabkan perbuatan mereka sendiri. [al-An’am/6 : 70] Maka orang yang tergadai adalah orang yang tertahan, kemungkinan disebabkan oleh perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain. Adapun orang yang tidak memohonkan syafa’at untuk orang lain tidak disebut ‘tergadai’ sama sekali. Bahkan orang yang tergadai adalah orang yang tertahan dari urusan yang akan dia raih, namun hal itu tidak harus terjadi dengan sebab darinya, bahkan hal itu terjadi terkadang disebabkan oleh perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain. Dan Allah Azza wa Jalla telah menjadikan aqiqah terhadap anak sebagai sebab pembebasan gadainya dari setan yang telah berusaha mengganggunya semenjak kelahirannya ke dunia dengan mencubit pinggangnya. Maka aqiqah menjadi tebusan dan pembebas si anak dari tahanan setan terhadapnya, dari pemenjaraan setan di dalam tawanannya, dari halangan setan terhadapnya untuk meraih kebaikan-kebaikan akhiratnya yang merupakan tempat kembalinya. Maka seolah-olah si anak ditahan karena setan menyembelihnya (memenjarakannya) dengan pisau (senjata) yang telah disiapkan setan untuk para pengikutnya dan para walinya. Setan telah bersumpah kepada Rabbnya bahwa dia akan menghancurkan keturunan Adam kecuali sedikit di antara mereka. Maka setan selalu berada di tempat pengintaian terhadap si anak yang dilahirkan itu semenjak keluar di dunia. Sewaktu si anak lahir, musuhnya (setan) bersegera mendatanginya dan menggabungkannya kepadanya, berusaha menjadikannya dalam genggamannya dan pemahamannya serta dijadikan rombongan pengikut dan tentaranya. Setan sangat bersemangat melakukan ini. Dan mayoritas anak-anak yang dilahirkan termasuk dari bagian dan tentara setan. Sehingga si anak berada dalam gadai ini. Maka Allah Azza wa Jalla mensyariatkan bagi kedua orang tuanya untuk melepaskan gadainya dengan sembelihan yang menjadi tebusannya. Jika orang tua belum menyembelih untuknya, si anak masih tergadai dengannya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. اَلْغُلاَمُ مُرْنَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ، فَأَرِيْقُوْا عَنْهُ الدَّمَ وَأَمِيطُواعَنْهُ الأَذَى Seorang bayi tergadai dengan aqiqahnya, maka alirkan darah (sembelihan aqiqah) untuknya dan singkirkan kotoran (cukurlah rambutnya) darinya. [1] Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengalirkan darah (menyembelih aqiqah) untuknya (si anak) yang membebaskannya dari gadai, jika gadai itu berkaitan dengan kedua orang tua, niscaya beliau bersabda :’Maka alirkan darah untuk kamu agar syafa’at anak-anak kamu sampai kepada kamu’. Ketika kita diperintahkan dengan menghilangkan kotoran yang nampak darinya (si anak dengan mencukur rambutnya) dan dengan mengalirkan darah yang meghilangkan kotoran batin dengan tergadainya si anak, maka diketahui bahwa itu untuk membebaskan anak dari kotoran batin dan lahir. Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui maksud-Nya dan makud Rasul-Nya’. (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 48-49, karya Ibnul Qayyim, Tahqiq : Basyir Muhammad Uyun, Penerbit Darul Bayaan dan Maktabah al-Muayyad cet. 4, Th 14141H/1994M) Hadits Tentang Aqiqah Adapun menurut istilah agama, yang dimaksud ‘aqiqah ialah : Sembelihan yang disembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik laki-laki ataupun perempuan pada hari yang ke tujuh sejak kelahirannya dengan tujuan semata-mata mencari ridla Allah. كُنَّا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا وُلِدَ ِلاَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَ لَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِاْلاِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَ نَحْلِقُ رَأْسَهُ وَ نَلْطَخُهُ بزَعْفَرَانٍ. ابو داود 3: 107، رقم: 2843 Demikianlah sejarah syariat ‘aqiqah dalam Islam, dan dari riwayat-riwayat diatas serta riwayat-riwayat lain, tampak jelas bagaimana sikap agama tercinta ini dalam menghadapi adat yang sudah biasa berjalan dan berlaku pada masyarakat dan masih mungkin diluruskan. Tegasnya, Islam sesuai dengan fungsi diturunkannya yaitu sebagai lambang kasih sayang serta memimpin ke arah jalan yang serba positif, maka dalam menghadapi adatistiadat yang sudah biasa dilaksanakan sekelompok manusia, menempuh tiga macam cara yaitu : A. Yang berhubungan dengan sang anak Dalil-dalil Pelaksanaan Aqiqah عَنْ يُوْسُفَ بْنِ مَاهَكٍ اَنَّهُمْ دَخَلُوْا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمنِ فَسَأَلُوْهَا عَنِ اْلعَقِيْقَةِ، فَاَخْبَرَتْهُمْ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. الترمذي 3: 35، رقم: 1549 Dari Yusuf bin Mahak bahwasanya orang-orang datang kepada Hafshah binti 'Abdur Rahman, mereka menanyakan kepadanya tentang 'aqiqah. Maka Hafshah memberitahukan kepada mereka bahwasanya 'Aisyah memberitahu kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih 'aqiqah) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35, no. 1549]. عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى. البخارى 6: 217 Dari Salman bin ‘Amir Adl-Dlabiy, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang ‘aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya)". [HR. Bukhari juz 6, hal. 217] عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. احمد 2: 604، رقم: 2725 Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa berkehendak untuk meng'aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan satu ekor kambing". [HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725] عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَ سَمَّاهُمَا وَ اَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى. الحاكم فى المستدرك 4: 264، رقم: 7588 Dari 'Aisyah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)". [HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588] Keterangan : Hasan dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW. عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى. ابو داود 3: 106، رقم: 2838 Dari Samurah bin Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Tiaptiap anak tergadai (tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama". [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106, no. 2838] عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَ يُحْلَقُ رَأْسُهُ وَ يُسَمَّى. ابن ماجه 2: 1056، رقم: 3165 Dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165] B. Yang berhubungan dengan binatang sembelihan 1. Dalam masalah ‘aqiqah, binatang yang boleh dipergunakan sebagai sembelihan hanyalah kambing, tanpa memandang apakah jantan atau betina, sebagaimana riwayat di bawah ini : عَنْ اُمّ كُرْزٍ اَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنِ اْلعَقِيْقَةِ فَقَالَ: نَعَمْ. عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ وَاحِدَةٌ، لاَ يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ اَمْ اِنَاثًا. الترمذى وصححه، 3: 35، رقم: 1550 Dari Ummu Kurz (Al-Ka'biyah), bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ‘aqiqah. Maka jawab beliau SAW, "Ya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina". [HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya, juz 3, hal. 35, no. 1550] Keterangan : Dan kami belum mendapatkan dalil yang lain yang menunjukkan adanya binatang selain kambing yang dipergunakan sebagai ‘aqiqah. 2. Waktu yang dituntunkan oleh Nabi SAW berdasarkan dalil yang shahih ialah pada hari ke-7 semenjak kelahiran anak tersebut. [Lihat dalil riwayat 'Aisyah dan Samurah di atas] Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Aqiqah : Dalam masalah ‘aqiqah ini banyak orang yang melakukannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Nabi SAW. Tetapi bila mereka ditanya dalilnya atau tuntunannya, mereka sendiri tidak dapat mengemukakannya dengan jelas. Maka kami suguhkan kepada saudara-saudara kaum Muslimin, dalil-dalil yang biasa dipergunakan sebagai dasar amalan-amalan yang berhubungan dengan masalah ‘aqiqah, sedang dalil tersebut adalah lemah dan tidak dapat dipergunakan sebagai hujjah/alasan dalam masalah hukum. Diantaranya : 1. Adzan dan Iqamah pada telinga bayi yang baru lahir. عَنْ اَبِى رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص اَذَّنَ فِى اُذُنَيِ اْلحَسَنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ. احمد 9: 230، رقم 23930 Dari Abu Rafi' ia berkata, "Saya pernah melihat Rasulullah SAW membaca adzan (sebagaimana adzan) shalat, pada kedua telinga Hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah". [HR. Ahmad juz 9, hal. 230, no. 23930, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin ‘Ubaidillah] Keterangan : Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Hakim dan Baihaqi dan juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan lafadh yang agak berbeda. Dan hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Ath-Thabrani sebagai berikut : عَنْ اَبِى رَافِعٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَذَّنَ فِى اُذُنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ وُلِدَا وَ اَمَرَ بِهِ. الطبرانى فى المعجم الكبير 1: 313، رقم: 926 Dari Abu Rafi’ bahwasanya Nabi SAW membaca adzan pada telinga Hasan dan Husain RA ketika keduanya dilahirkan. Dan beliau menyuruh yang demikian itu. [HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir juz 1, hal. 313 no. 926] Hadits-hadits tersebut kesemuanya diriwayatkan melalui jalan 'Ashim bin 'Ubaidillah. Tentang ‘Aashim bin ‘Ubaidillah ini, Bukhari berkata : Ia mungkarul hadits. Abu Zur’ah berkata : Ia mungkarul hadits. Abu Hatim berkata : Ia mungkarul hadits. Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Nasa’iy berkata : Ia dla’if. (Lihat Mizaanul I’tidal juz 2 hal. 353 no. 4056; Tahdziibut Tahdziib juz 5, hal. 42, no. 79). Ada lagi hadits yang diriwayatkan Ibnus Sunni demikian : عَنْ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَاَذَّنَ فِى اُذُنِهِ اْليُمْنَى وَ اَقَامَ فِى اُذُنِهِ اْليُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ اُمُّ الصّبْيَانِ. ابن السنى: 220، رقم: 623 Dari Husain bin Ali RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mempunyai anak yang baru dilahirkan, kemudian ia mensuarakan adzan di telinga yang kanan, dan iqamah pada telinga yang kiri, maka anak itu tidak diganggu oleh Ummush Shibyan (sejenis syaithan)". [HR. Ibnus Sunni hal. 220, no. 623, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Jabbaarah bin Al-Mughlis, Yahya bin ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim] Keterangan : Hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Jabbaarah bin Al-Mughlis, Yahya bin ‘Alaa’ dan Marwan bin Saalim, ketiganya dla’if. Tentang Jabbaarah bin Al-Mughlis, Al-Bazzaar berkata : ia banyak keliru. Daruquthni berkata : ia matruuk. Bukhari berkata : haditsnya mudltharib. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 2, hal. 50, no. 87).  Tentang Yahya bin Al-’Alaa’, Imam Ahmad bin Hanbal berkata : ia pendusta. ‘Amr bin ‘Ali, Nasaiy dan Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Zur’ah berkata : haditsnya dla’if. As-Sajiy berkata : ia mungkarul hadits. Ad-Daulabiy berkata : ia matruukul hadits. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 11, hal. 229, no. 427). Tentang Marwan bin Salim, Bukhari dan Muslim berkata : ia munkarul hadits. Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Hatim berkata : ia munkarul hadits jiddan. Al-Baghawiy berkata : ia munkarul hadits, riwayatnya tidak boleh dijadikan hujjah. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 10, hal. 84, no. 172). 2. Tentang aqiqah yang dikerjakan pada selain hari ke-7 yaitu pada hari yang ke-14, ke-21, setelah tua dan sebagainya, sebagai berikut : عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَ ِلاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَ ِلاِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ. البيهقى 9: 303 Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, " ‘Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21 nya". [HR. Baihaqi juz 9, hal. 303, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin Muslim] عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ اَوْ اَرْبَعَ عَشْرَةَ اَوْ اِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ. الطبرانى فى الاوسط 5: 457، رقم: 4879 Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, " ‘Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21 nya". [HR. Thabrani dalam Al-Ausath juz 5, hal. 457, no. 4879, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Isma’il bin Muslim] Keterangan : Hadits tentang kebolehan ber’aqiqah pada hari ke-14, dan ke-21 tersebut di atas adalah dla'if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ismail bin Muslim Al-Makkiy.Tentang Isma’il bin Muslim Al-Makkiy, Al-Jauzajaaniy berkata : ia waahin jiddan. Abu Zur’ah berkata : ia dla’iful hadits. Abu Hatim berkata : ia dla’iful hadits, kacau pikirannya. Nasaiy berkata : ia matruukul hadits. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 1, hal. 289, no. 598). Adapun riwayat Nabi SAW beraqiqah setelah beliau menjadi Nabi, haditsnya sebagai berikut : عَنْ اَنَسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ. البيهقى 9: 300 Dari Anas RA bahwasanya Nabi SAW ber’aqiqah untuk dirinya sesudah beliau menjadi Nabi". [HR. Baihaqi juz 9, hal. 300, dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abdullah bin Muharrar] Keterangan : Hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW ber’aqiqah untuk dirinya setelah menjadi Nabi, ini juga tak dapat dipakai sebagai hujjah/dasar, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Abdullah bin Muharrar. Tentang ‘Abdullah bin Muharrar, Ibnu Ma’in berkata : ia dla’if. ‘Amr bin ‘Ali, Abu Hatim, ‘Ali bin Junaid dan Daruquthni berkata : ia matruukul hadits. Abu Zur’ah berkata : ia dla’iful hadits. Bukhari berkata : ia munkarul hadits. (Lihat Tahdziibut Tahdziib juz 5, hal. 340, no. 661). 3. Tentang shadaqah seberat rambut yang dicukur dari kepala si Anak عَنْ عَلِيّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ قَالَ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ بِشَاةٍ وَ قَالَ: يَا فَاطِمَةُ اِحْلِقِى رَأْسَهُ وَ تَصَدَّقِى بِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً فَوَزَنَتْهُ فَكَانَ وَزْنُهُ دِرْهَمًا اَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ. الترمذى 3: 37، رقم: 1556 Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata : Rasulullah SAW telah ber’aqiqah bagi Hasan seekor kambing dan bersabda, "Ya Fathimah, cukurlah rambutnya dan bersedeqahlah seberat rambut kepalanya dengan perak". Maka adalah beratnya satu dirham atau setengah dirham". [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 37, no. 1556, dan ia mengatakan : Ini hadits hasan gharib, sanadnya tidak sambung] Keterangan : Hadits ini dla’if, karena sanadnya munqathi' (terputus), karena Abu Ja'far Muhammad bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali tidak sezaman dengan ‘Ali bin Abu Thalib. سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبُ اِلَيْكَ Hadiah di Hari Lahir (7), Waktu Pelaksanaan Aqiqah Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Pembahasan kali ini adalah pembahasan terakhir dari kami mengenai aqiqah. Kita masuk pada pembahasan waktu pelaksanaan aqiqah dan beberapa hal lainnya. Semoga bermanfaat. Waktu Pelaksanaan Aqiqah Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits, عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى » Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh? Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[1] Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh? Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها “Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ “Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari. Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06). Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini. Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh? Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya. Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah. Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[5] Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama. Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil. Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]. Wallahu a’lam. Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran? Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?” Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[7] Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?” Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.” Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”[8] Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[10] Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah– menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[11] Mengundang Makan-Makan Aqiqah Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[12] Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah. Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?” Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang baik.”[13] Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[14] Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[15] Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[16] Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang. Dari Buraidah, ia berkata, كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ. “Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za’faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) Alhamdulillah, usai sudah bahasan kami tentang aqiqah. Semoga bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Setelah pada artikel lalu kita membahas tentang Jual Kambing Aqiqah, sekarang kita bahas mengenai Dalil Tentang Aqiqah. Aqiqah (bahasa Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah) yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa akikah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dimaknai pula bahwa aqiqah merupakan rambut yang dibawa si bayi ketika lahir. Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan (kambing) yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan. Menurut istilah agama, yang dimaksud aqiqah ialah : hewan yang disembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik laki-laki ataupun perempuan pada hari yang ke tujuh sejak kelahirannya dengan tujuan semata-mata mencari ridla Allah. souvenir aqiqah, aqiqah 2018Pelaksanaan Aqiqah hendaknya dilakukan pada hari ketujuh. Dalam pelaksanaan itu, orang tua diperintahkan menggunduli rambut bayi dan memberi nama yang baik, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْـنَـةٌ بِـعَـقِـيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَـنْـهُ يَـوْمَ سَابِـعِـهِ وَيُـسَـمَّى فِيْـهِ وَيُـحْلَـقُ رَأْسُـهُ “Setiap anak yang lahir tergadai aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu ia diberi nama dan digunduli rambutnya.” (Hadits Sahih Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim). Apabila Anda ingin melaksanakan Qurban maupun Aqiqah, Anda dapat menggunakan jasa jual kambing yang terpercaya. Hadits lain tentang Aqiqah adalah: قَلَتْ عَائِـشَةُ : عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحَـسَـنِ وَالْـحُسَيْنِ يَوْمَ السَابِـعِ Aisyah berkata, “Rasulullah Saw pernah beraqiqah untuk Hasan dan Husein pada hari ketujuh…” (HR. Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi) Al-Ghazi dalam kitab Fathul Qorib al-Mujib mendefinisikan aqiqah sebagai berikut : (الذبيحة عن المولود يوم سابعه) أي يوم سابع ولادته بحسب يوم الولادة من السبع) Kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketuju kelahiran. Dalil dan dasar hukum aqiqah antara lain : 1. Hadits Riwayat Ahmad dan Imam Empat Hadits shahih menurut Tirmidzi. كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويتصدق بوزن شعره فضة أو ما يعادلها ويسمى Artinya: Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur habis rambutnya, dan diberi nama. 2. Hadits dalam sahih Bukhari (مع الغلام عقيقه فأهريقوا عنه دما وأميطوا عنه الأذى) Artinya: Setiap anak bersama aqiqahnya, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya 3. Hadits riwayat Abu Daud (أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ) Artinya: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. 4. Hadits riwayat Malik dan Ahmad وَزَنَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ شَعَرَ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ، فَتَصَدَّقَتْ بِزِنَتِهِ فِضَّةً. Artinya: Fatimah Binti Rasulullah SAW (setelah melahirkan Hasan dan Husain) mencukur rambut Hasan dan Husain kemudian ia bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya. 5. Hadits riwayat Abu Daud dan Nasai مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يُنْسَكَ عَنِ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ الْغُلاَمِ شاَتَاَنِ مُكاَفأَ َتاَنِ وَعَنِ الْجاَ رِيَةِ شاَةٌ Artinya: Barang siapa diantara kamu ingin beribadah tentang anaknya hendaklah dilakukan aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya dan untuk anak perempuan seekor kambing 6. Hadits riwayat Abu Daud أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنْ اَلْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا Artinya: Nabi beraqiqah untuk Hasan dan Husein masing-masing seekor kambing kibas. Al-Hafizh Ibnul Qayyim menyebutkan beberapa hikmah di balik syari’at aqiqah ini, di antaranya: Menghidupkan sunnah Nabi Taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah dan syukur kepada-Nya Membebaskan anak bayi dari pergadaian Penyebab kebaikan anak, pertumbuhannya, keselamatannya, panjang umurnya, dan terhindar dari gangguan setan Apabila Anda ingin melakukan Aqiqah maupun Qurban, Anda dapat mencari layanan jual kambing yang terpercaya. Kambing Aqiqah Berkah Kambing Aqiqah Berkah Binatang yang sah untuk qurban maupun aqiqah ialah yang tidak cacat, misalnya pincang, sangat kurus, sakit, putus telinga, putus ekornya, dan telah berumur sebagai berikut : Domba (da’ni) yang telah berumur satu tahun lebih atau sudah berganti giginya Kambing yang telah berumur dua tahun lebih Unta yang telah berumur lima tahun lebih Sapi, kerbau yang telah berumur dua tahun lebih Menurut H. Sulaiman Rasjid dalam bukunya ‘Fiqih Islam’ (479-450) disebutkan bahwa hukum aqiqah adalah sunat bagi orang yang wajib menanggung nafkah si anak. Untuk anak laki-laki hendaklah disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan seekor kambing saja, dan hendaklah disembelih pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya anak. Tetapi kalau tidak dapat, boleh juga beberapa hari setelah itu, asal anak belum sampai baligh (dewasa). Tags: aqiqah, binatang aqiqah, dalil aqiqah, Hakikat Aqiqah, hewan aqiqah, hukum aqiqah, ilmu aqiqah, jasa aqiqah, kambing aqiqah, ketentuan aqiqah, layanan aqiqah, Makna Aqiqah, paket aqiqah, sunah aqiqah, syarat aqiqah [1]. Hadits yang disebutkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ini kami dapati dengan lafazh : مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيٌَةٌ، فَأَهْرِيْقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوا عَنْهُ الأَذَى Bersama seorang bayi ada aqiqah, maka alirkan darah (yaitu, sembelihan aqiqah) untuknya dan singkirkan kotoran (yaitu cukurlah rambutnya) darinya. [HR Bukhari secara mu’allaq dan diwashalkan oleh Thahawi, juga riwayat Abu Dawud, 2839, Tirmidzi no. 1515] Hadis Tentang Aqiqoh Hadis Tentang Akikah Dalil Tentang Aqiqoh Hadits Tentang Akikah Makna Aqiqah